Yadnya Kasada

[Bromo – Tengger]

 

Telah dijelaskan pada artikel “Budaya dan Kearifan Lokal Tengger”, bahwa kehidupan budaya masyarakat suku Tengger tidak dapat terlepas dari Bromo (Brahma) dan Yadnya Kasada. Pembahasan tentang masyarakat Tengger selalu  terkait dengan Yadnya Kasada, dukun dan Bromo sebagai posisi sentral dari tradisi budaya masyarakat Tengger.

Yadnya Kasada, atau sering disebut dan diucapkan “Kasada”, “Kasodo”, atau “Kesodo”[1], diperingati setiap tahun oleh masyarakat Tengger, pada malam bulan purnama pada tanggal 14 sampai 15 bulan Kasada (bulan ke dua belas berdasarkan hitungan kalender Jawa Kuna/ Tengger)[2]. Dalam kelender Masehi, Kasada ini bertepatan dengan bulan antara September s.d. Januari[3]. Yadnya Kasada dirayakan untuk mengekspresikan rasa syukur masyarakat Tengger atas karunia Sang Hyang Widhi Wasa, permohonan berkah dalam kehidupan, dan penghormatan terhadap leluhur, yakni Sang Hyang Dewa Kusuma[4].

Secara etimologis, yadnya berarti “kurban suci”, dan kasada berarti “bulan ke dua belas”. Jadi, Yadnya Kasada, berarti kurban suci yang dilaksanakan pada bulan ke dua belas (menurut hitungan tahun Çaka, kalender Jawa Kuna).

Tempat Berlangsungnya Upacara Yadnya Kasada

Tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya yang melakukan peribadatan di candi-candi, masyarakat Tengger melakukan peribadatan di poten, punden dan danyang. Poten merupakan sebidang lahan dan bangunan mirip pura, yang terletak di tengah lautan pasir, sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Di Tengger, disebut Pura Luhur  Poten Bromo.

Prosesi Upacara Yadnya Kasada

Masyarakat Tengger (penganut agama Hindu, atau Buddha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) mempersiapkan upacara Yadnya Kasada (selanjutnya disebut Kasada) pada 44 hari sebelum tanggal 14 bulan Kasada. Pada waktu itu dukun desa bersama masyarakat dan sesepuh desa telah bersiap-siap menyambut Kasada. Syarat utama upacara Kasada adalah disediakannya ongkek sebagai tandu sesaji. Tiap-tiap desa wajib menyediakan satu buah ongkek, dengan syarat desa tersebut dinilai resik (bersih), artinya, tidak ada warga desa yang meninggal dunia. Jika ada seorang warga suatu desa yang meninggal dunia, maka desa tersebut dianggap “tidak bersih”, sehingga tidak wajib menyediakan ongkek, walaupun warga desanya tetap mengikuti upacara Kasada. Desa yang tidak bersih tersebut tetap diperbolehkan menyediakan sesaji yang lain, asal bukan ongkek. Patut dicatat, bahwa pada waktu digelar upacara Kasada ini, terdapat bermacam-macam sesaji dari upacara-upacara lain yang pelaksanaannya berbarengan dengan upacara Kasada, sehingga jenis sesajinya juga bermacam-macam. Sesaji “standard” dan wajib dalam upacara Kasada adalah sesaji ongkek, yang berisi aneka tanaman hasil bumi Tengger (tetuwuhan) atau tumbuh-tumbuhan, yakni aneka palawija.

Pada malam ke-14 Bulan Kasada, masyarakat Tengger berbondong-bondong menaiki puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo (Brahma) yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Sebelum upacara Kasada dimulai, didahului dengan melakukan gotong royong membersihkan Pura Luhur Poten Bromo, serta diikuti acara odalan[5] atau wedalan, dan acara mendhak tirta atau pengambilan air suci dari Goa Widodaren[6]. Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng – Jaka Seger di panggung terbuka desa Ngadisari[7]. Kemudian tepat pada pukul 00.00 dini hari (tanggal 14 Kasada) diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Ketika upacara Kasada dilangsungkan, para warga Tengger yang bermukim di sekitar kawasan Gunung Bromo, yaitu yang berada di wilayah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dan Malang, bersembahyang di Pura Luhur Poten Bromo[8], mulai pukul 00.00 WIB, yang dipimpin oleh dukun desa masing-masing .

Rangkaian upacara Kasada meliputi: sembahyang bersama, membaca pujian, pembacaan sejarah Tengger dan Kasada, kemudian dilanjutkan dengan pengukuhan / pelantikan dukun baru, pemberkatan umat, dan di penghujung acara, diadakan pemujaan ucapan terimakasih, setelah seluruh rangkaian acara selesai terlaksana. Prosesi pembacaan doa (mantra) dipimpin oleh dukun desa, yang membacakan mantra untuk keselamatan desa dan keperluan warga desanya. Dalam hal ini kepala dukun tidak membaca doa atas nama umat, namun selaku dukun desanya. Selesai berdoa (membaca mantra di Pura Luhur Poten Bromo), umat Hindu Tengger mulai mengusung tandu ongkek yang berisi sesaji untuk dilabuhkan ke kawah gunung Bromo. Mulailah iring-iringan manusia menuju puncak kawah gunung Bromo hingga acara labuhan (pelemparan) sesaji ke kawah gunung Bromo, yaitu sekitar pukul 03.30 WIB hingga pukul 05.00 WIB (tanggal 15 Kasada). Labuhan sesaji ongkek ini dilakukan oleh dukun terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh warga.

Pada waktu akan menuju Pura Luhur Poten Bromo untuk bersembahyang dahulu sebelum membawa sesaji ongkek ke puncak kawah gunung Bromo, seluruh umat Hindu Tengger baik yang berasal dari kawasan Probolinggo, maupun dari kawasan Pasuruan, Lumajang dan Malang, bersama beriring-iringan sambil membawa sesaji yang dikumpulkan dahulu di Pura Luhur Poten Bromo. Iring-iringan umat tersebut melalui dua pintu gerbang masuk Gunung Bromo, yaitu gerbang dari arah Probolinggo dan gerbang dari arah Pasuruan. Sesaji pada upacara Kasada disamping dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur masyarakat Tengger kepada Tuhannya, juga merupakan pengharapan bagi masyarakat untuk memperoleh hasil panen yang melimpah dan upaya untuk menolak bala dan penyakit. Iring-iringan warga Hindu Tengger pada saat membawa sesaji ongkek berjalan cepat untuk ukuran orang luar non Tengger. Mereka menempuh jarak sekitar 10 km hingga ke puncak kawah gunung Bromo, memakan waktu sekitar 2 jam berjalan kaki. Pada prosesi ini orang luar (peminat atau wisatawan) diperkenankan melihat iring-iringan ongkek dari dekat. Orang luar tersebut bisa ikut berjalan kaki, bisa pula naik kendaraan (biasanya ojek sepeda motor) jika menginginkan. Kecuali, di dalam Pura Luhur Poten Bromo, orang luar tidak diperkenankan masuk. Di dalam pura tersebut, hanya warga Hindu Tengger dan kerabat dukun yang boleh masuk.

Keseluruhan prosesi ini terjadi pada tanggal 14 Kasada dini hari mulai pukul 00.00 WIB hingga tanggal 15 Kasada esok harinya, sekitar pukul 05.00 WIB. Setelah itu (tanggal 15 Kasada pagi hari tersebut), upacara dilanjutkan di desa masing-masing.

Ritual Lain

Selain upacara Kasada, umat Hindu Tengger juga menyelenggarakan upacara ritual lainnya. Sebagian ritual lain tersebut dilaksanakan bertepatan dengan penyelenggaraan upacara Kasada. Upacara tersebut adalah :

  1. Upacara Karo. Karo, artinya kedua. Upacara Karo atau Hari Raya Karo ini merupakan hari raya terbesar masyarakat Tengger, diperingati pada bulan kedua tahun Çaka. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabot rumah tangga juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah. Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widdhi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian, dan memusnahkan angkara murka.
  2. Upacara Kapat. Kapat, artinya keempat. Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun Çaka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
  3. Upacara Kawolu. Kawolu artinya ke delapan. Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun Çaka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji kepada kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
  4. Upacara Kasanga. Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun Çaka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa oncor (obor). Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya dukun dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
  5. Upacara Unan-Unan. Upacara ini diadakan setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu kerbau. Kepala kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak (nampan terbuat dari bambu) besar, diarak ke sanggar pamujan (sanggar pemujaan).
  6. Upacara Entas-entas. Upacara ini dilakukan setiap 1000 hari sekali. Dilaksanakan untuk mengantar roh leluhur supaya bisa masuk nirwana (sorga). Upacara entas-entas ini mirip ngaben di Bali, namun pada entas-entas yang dibakar adalah boneka dari si mati (orang yang meninggal dibuatkan tiruan berupa boneka terbuat dari dedaunan). Entas-entas boleh dilakukan setelah 44 hari dari hari kematian seseorang.

[1] Pengucapan yang benar menurut orang Tengger adalah ”Kasada”, bukan “Kasodo” (berakhiran bunyi ”a”, bukan ”o”). Orang Tengger sebenarnya tidak suka istilah adatnya diucapkan secara keliru.

[2] Penulis menemukan kesalahan pada beberapa tulisan tentang Tengger, yaitu Kasada seringkali ditulis sebagai bulan ke sepuluh. Yang benar adalah bulan ke dua belas (bulan ke sepuluh adalah ”kadasa”). Termasuk penulisan Kasada, seringkali ditulis Kasodo atau Kesodo.

[3] Pada tahun 2006, Kasada bertepatan dengan tanggal 7 – 8 September 2006. Pada tahun 2015, Kasada dilaksanakan pada 30 Agustus 2015.

[4] Lihat pembahasan pada Bagian II: Asal-Usul Masyarakat Tengger: Legenda.

[5] Odalan, merupakan kata dari bahasa Bali. Istilah Tenggernya adalah pawedalan. Artinya pengeluaran atau peresmian. Maksudnya, peresmian acara inti (Kasada). Atau dapat diartikan seagai ”hari lahir”, untuk menandai akan dibukanya upacara Yadnya Kasada. Odalan atau pawedalan sendiri bukan merupakan paket rangkaian upacara Kasada.

[6] Goa Widodaren adalah salah satu tempat yang dianggap suci oleh umat Tengger. Terdapat sumber mata air yang dianggap suci pula. Sumber air ini juga boleh digunakan untuk keperluan sehari-hari warga Tengger, misalnya untuk air minum.

[7] Desa Ngadisari adalah desa Tengger terdekat dengan lokasi lautan pasir tempat poten berada.

[8] Pura Luhur Poten Bromo terletak di hamparan pasir sekitar 1 km dari kawah Gunung Bromo. Lokasi ini terletak persis di antara Gunung Bromo dengan Gunung Batok.

 

Ditulis oleh:

Wawan E. Kuswandoro