CATATAN PENILAIAN INOVASI PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO 2016
Wawan E. Kuswandoro
Peminat Social & Political Engineering, Pemerintahan dan Politik Lokal, FISIP Universitas Brawijaya (Tim Penilai GIPP)
Disampaikan pada penganugerahan inovasi terbaik pada Gelar Inovasi Pelayanan Publik (GIPP) Pemerintah Kota Probolinggo, 7 November 2016, di Puri Manggala Bhakti, Gedung Pemkot Probolinggo
Inovasi pelayanan publik, suatu cara baru penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih menarik, atraktif, kreatif untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat sehingga lebih efisien dan efektif. Inovasi membawa perubahan baru, bisa merupakan temuan baru yang tidak berdasar kondisi yang sudah ada (discontinous innovation) bisa pula bersifat meneruskan yang berdasarkan pelayanan/ produk yang sudah ada (subtaining innovation). Namun, keduanya memerlukan sentuhan perubahan baru dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Inovasi memiliki level incremental, transformative, dan radical, yang berujung pada perubahan perilaku baik masyarakat maupun pemerintah. Pada tahap selanjutnya, perubahan perilaku masyarakat (agent) ketika berinteraksi dengan pemerintah (principal) akan saling mempengaruhi sehingga masing-masingnya akan bertransformasi dalam perubahan sosial dan organisasi. Proses ini dengan sendirinya membangun kekuatan modal sosial yang berbalut dengan kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jadi, inovasi pelayanan publik merupakan konsep terintegrasi yang memuat unsur modal sosial, proses sosial transformatif antara pemerintah dan masyarakat.
Secara umum, sebagai dasar teoretis, program inovasi pelayanan publik diukur dengan indikator (1) nilai lebih (relative advantage), (2) kesesuaian dengan masalah (compatibility/ contextuality); (3) daya jangkau (complexity); (4) kemudahan diamati (observability; (5) bisa dicoba (triability); yang kesemuanya dipetakan dalam 5 kriteria penilaian yang digunakan secara praktis dalam penilaian GIPP ini: (1) Analisis masalah (5%); (2) Pendekatan strategis (20%); (3) Pelaksanaan dan penerapan (35%); (4) Dampak (25%); (5) Keberlanjutan (15%).
Secara teknis, penilaian inovasi dilakukan dalam 3 tahapan: (1) Penilaian dokumen inovasi, yaitu menilai kekuatan konseptualisasi desain inovasi yang diajukan, meliputi fokus inovasi dalam menjabarkan 5 kriteria di atas; (2) Penilaian paparan/ presentasi, untuk menilai kemampuan inovator dalam menjelaskan desain tertulisnya; (3) Penilaian lapang, untuk menilai kesesuaian antara dokumen dan presentasi dengan kondisi objektif di lapangan.
Temuan konsep inovasi yang diajukan SKPD Pemerintah Kota Probolinggo:
- Fokus desain konsep inovasi. Dari 26 pengaju (inovator), terjaring 10 inovator terbaik, yang memiliki kekuatan konseptualisasi desain inovasi yang baik (fokus kuat tentang desain konsep inovasinya). Sedangkan 16 yang lain, kurang kuat membingkai desain inovasinya: (1) kurang fokus, (2) salah fokus/ salah kemas, (3) lemah unsur inovasi, (4) kurang menjelaskan, (5) kurang daya implementatif.
- Dari 10 inovator terbaik, rata-rata memiliki kekuatan desain konsep inovasi yang menjelaskan, yang kemudian dipilih 3 desain (inovator) terbaik.
- Dari 3 inovator terbaik, adalah yang relatif lebih unggul dalam memenuhi kriteria teoretis dan praktis: reasoning berbasis masalah, konseptual, kontekstual, implementatif, dampak perubahan sosial/ dampak publik/ jangkauan, terukur, kebaruan/ orijinalitas ide/ kreasi, dapat direplikasi.
Kesimpulan
- Kebanyakan SKPD belum memunculkan inovasi yang kuat, walaupun semua SKPD pengaju telah memiliki dasar (start-up) yang cukup.
- Inovasi SKPD tergantung personal, belum tertransformasi keorganisasian dan kurang regenerasi.
- Inovasi berorientasi kepentingan publik, merupakan langkah awal mewujudkan pelayanan dan corak birokrasi yang lebih “cair”, luwes / fleksibel dalam implementasi, sehingga mengikis kekakuan birokrasi yang menjadi corak birokrasi di Indonesia yang cenderung legal-formal (Weberian bureaucracy) yang biasanya membuntukan ide inovasi.
- Pengalaman berinovasi atau pengalaman mempraktikkan pelayanan publik berorientasi kepentingan publik secara baik, akan membuka ruang publik yang bersama-sama menciptakan harmoni dan pelayanan publik deliberatif. Dengan ini beban kerja pemerintah relatif lebih ringan.
- Ber-inovasi dalam pelayanan publik yang lebih berorientasi kepentingan publik, itu tidak menakutkan, namun menyenangkan.
Saran
(1) Pengembangan dan penguatan inovasi dari semua pengaju dan semua SKPD, karena pelayanan publik bersifat dinamis, berlomba dengan dinamika masyarakatnya. Pada konteks ini pemerintah bisa mengembangkan model adhocracy fungsional untuk memperkaya fungsi birokrasi khususnya dalam penguatan dan pengembangan inovasi sekaligus transformasi konstruksi berpikir dan bekerja. Adhocracy itu sendiri juga merupakan sebuah inovasi.
(2) Memperluas dimensi dan jangkauan desain inovasi: dimensi input (kepemimpinan, SDM/ kepegawaian); dimensi sirkumtansi/ environment/ lingkungan pelayanan (komunikasi bahasa/ sapaan; suasana birokrasi); dimensi implementatif: kekuatan konseptual (fokus, kebaruan); komunikasi antar pelaku, internal dan eksternal (applicable); kelentingan (kemudahan, sirkumtansi & sustainability).
(3) Menerapkan regenerasi aktor dan gagasan inovasi dengan tetap menghargai aktor inovator, dan memperhatikan inkubasi inovasi yang melibatkan aktor, dalam fungsi aparatur misalnya mutasi pegawai.
(4) Menerapkan penghargaan internal SKPD terhadap pegawai yang memiliki gagasan inovasi, misalnya “pegawai inovator tahun ini”.
(5) Menerapkan asesment dan penilaian kinerja pelayanan publik efektif – inovatif secara terlembaga (GIPP ini merupakan embrio ke arah upaya tsb; bukan sekadar kontes biasa). Dalam konteks ini, GIPP bisa bertransformasi menjadi salah satu “alat ukur kinerja dari perspektif inovasi sebagai konsep terintegrasi” yang terus meningkatkan kualitas independensi dan profesionalitasnya sehingga menjadi lebih dipercaya (salah satu bagian fungsi adhocracy).
(6) Pengukuran Indeks Inovasi Daerah secara kontinu.
(7) Pengembangan Budaya Inovasi, yang merupakan habituasi kultural setelah habituasi struktural, untuk menginternalisasi mindset dan revitalisasi etos kerja di kalangan aparatur pemerintah. Ini adalah sebuah corporate culture yang berkarakter.
(8) Menyediakan payung hukum terkait penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang bertumpu pada inovasi berkelanjutan (aspek “keamanan berinovasi”).