Islam Nusantara dan Shock Therapy Intoleran

Menyeruaknya kembali gagasan yang disebut ‘Islam moderat’, ‘Islam toleran’, dsb ke permukaan hingga kemudian memunculkan wacana “Islam Nusantara”, tampaknya merupakan respons sosial atas berbagai penampakan fenomena sosial yang berkaitan dengan isu agama (Islam), dengan berbagai persepsi yang mengemuka sehingga dirasa perlu adanya sebuah upaya “penjernih suasana” atas berbagai reaksi terhadap “fenomena dunia Islam”, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Ini jelas mengisyaratkan belum tuntasnya masalah keberagamaan di tengah keberagaman budaya dan praktik keberagamaan di Indonesia.  Ini adalah wilayah sosial, tentang tafsir sosial atas aplikasi dan tafsir dari sebuah ajaran agama (Islam). Sama sekali bukan “mengindonesiakan Islam” atau “mengislamkan Indonesia”. Hanya sebatas tafsir sosial. Sebenarnya, pertanyaan kritisnya adalah, mengapa perlu muncul “Islam Nusantara”? Tidak cukupkah dengan apa yang disebut “Islam” tanpa embel-embel?

Okay, kita runut konteks sosialnya. Dalam masyarakat muslim yang mayoritas pun masih diwarnai kegamangan dalam perilaku beragama dan bersosial di antara mereka, dikarenakan adanya berbagai aliran dalam Islam yang berimbas pada perbedaan perilaku sosial yang kemudian mengemukanya corak hubungan sosial di antara warga masyarakat muslim. Perbedaan tafsir atas ajaran agama Islam dalam tubuh masyarakat muslim sendiri pun masih mewarnai dan menentukan pola hubungan sosial. Masyarakat muslim Indonesia belum sepenuhnya terlatih untuk menafsir “perbedaan adalah rahmat” yang menjelma menjadi praktik hubungan sosial yang benar-benar harmonis dan saling menghormati atas perbedaan tersebut, namun justru terjerumus dalam kepicikan berpikir yang dibangun dari egositas kelompok, egositas fragmen pemikiran yang berbalut dan atas nama ajaran agama. Kekosongan ruang berpikir berorientasi sosial ini membawa pada perilaku intoleran antar kelompok dalam masyarakat muslim sendiri. Perbedaan-perbedaan tafsir atas ajaran agama yang seharusnya tidak perlu mengganggu kelompok lain yang berbeda, justru menjadi komoditas sosial dan bahkan politik untuk kemudian seolah melegalkan permusuhan bahkan kekerasan suatu kelompok muslim terhadap kelompok muslim lain yang berbeda aplikasi tafsir ajaran. Men-stigma “sesat” dan “kafir” pada kelompok lain yang berbeda telah menjadi kebiasaan. Konflik antara kelompok muslim Sunni – Syiah di Sampang (sebelumnya juga sering terjadi antara lain di Sidoarjo, Bangil, Jawa Timur) yang hingga kini belum menampakkan solusi yang humanis.

Perilaku intoleran secara intelektual yang terpicu dari tafsir-sektarian-egois atas ajaran agama, juga terjadi di kalangan intelektual menengah ke atas. Kita bisa menyaksikan betapa pembicaraan tentang perbedaan mazhab dalam Islam saja berkembang dahsyat dengan pengkafiran pada kelompok lain yang tidak sejalan dengan dirinya. Isu perbedaan Sunni – Syi’ah yang semakin mengembang tidak jelas jluntrungannya dan tidak jelas apa yang diperebutkan itu juga bagian dari perkembangan wacana yang berpotensi membawa kepada perpecahan umat, bisa mengancam perpecahan bangsa.

Dan beberapa konflik sosial lain, yang kemudian memejal menjadi kekerasan antar kelompok dalam masyarakat, benar-benar menuntut perhatian kita, terutama kasus yang berkenaan dengan konflik dan kekerasan sosial yang mengatasnamakan agama. Teks-teks ajaran agama, yang lebih cenderung dianggap sebagai agama dengan menggunakan ‘teks suci’ oleh pemeluknya, oleh karena itu diperlukan ajaran-ajaran yang menginterpretasikan kembali agar pemahaman dari para pemeluknya dapat menyatu dengan pola-pola dan pedoman yang selama ini dilakukan dalam masyarakatnya. Semua agama pasti menganjurkan keharmonisan dalam membentuk masyarakat agar sejahtera, namun interpretasi dan pemahaman yang dimiliki oleh pengikut agama tersebut yang membuatnya menjadi salah tafsir dan salah pengertian sehingga menjadi berbeda dari ajaran yang seharusnya. Konflik-konflik kerap kali terjadi antar satu agama dengan agama lainnya diperkarakan oleh sebab-sebab yang kecil dan sepele seperti konflik di Papua, konflik di Aceh, konflik di Poso dan konflik di Sambas.

Konflik yang terjadi di Papua misalnya, merupakan konflik antar agama yang banyak memberikan pandangan bahwa konflik tersebut bukanlah karena agama namun lebih karena adanya persoalan ekonomi, sosial dan politik. Selain itu perilaku para pendatang baru yang masuk ke kampung-kampung kemudian menjadi pelaku ekonomi yang berhasil. Sehingga perekonomian yang ada di Papua seringkali dikuasai oleh para pendatang dibandingkan warga asli Papua. Seharusnya konflik antar agama di Papua tidak terjadi, karena pemicunya hanyalah persoalan emosional dari sekelompok anggota masyarakat tertentu saja sehingga persoalan tersebut dibesar-besarkan oleh pihak-pihak lain dan dianggap sebagai persoalan yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Demikian pula yang terjadi di Aceh, pada tahun 2013 terjadi isu pelarangan perayaan Natal oleh pihak Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), padahal dari pihak MPU sendiri tidak pernah memberikan pernyataan tentang pelarangan perayaan Natal. Apa yang telah terjadi di Poso juga sebenarnya hanyalah pertikaian yang dilakukan oleh dua orang remaja yang satu beragama Islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Pertikaian dua orang berlainan agama itu akhirnya merembet dan membesar sebagai konflik antar kelompok antara Islam dan Kristen. Meskipun dari versi pemberitaan media yang lain menyatakan tidak terima, karena menurutnya konflik terjadi di Poso memang benar persoalan konflik antar agama, kalaupun pihak pemerintah menutup-nutupi persoalan tersebut sebagai persoalan yang bukan konflik agama hanya akan membuat masyarakat menjadi bodoh. Pembodohan masyarakat terhadap relaitas yang sesungguhnya terjadi di konflik Poso. Kerusuhan di Ambon yang meletus di bulan Januari 1999, yang di mulai dengan konflik antara pendatang Buton-Bugis-Makasar (BBM) yang beragama Islam dengan penduduk asli Ambon beragama Kristen. Kerusuhan tersebut semakin memuncak menjadi konflik antar agama setelah masjid Al-Fatah di Ambon dibakar oleh orang Kristen. Pemicu terjadinya konflik bermula dari persoalan-persoalan yang kecil yang sebenarnya lebih pada persoalan yang terjadi akibat kesalahpahaman yang dibangun akibat interaksi sosial antar individu. Pola hubungan dalam membangun interaksi individu tersebut kemudian menjadi meluas dan di jadikan sebagai kesalahpahaman interaksi sosial antar kelompok. Pola hubungan antar individu menjadi pola hubungan antar kelompok yang akhirnya tercerai berai, karena masing-masing individu tersebut memiliki identitas kegamaan yang berbeda akhirnya pola hubungan antar kelompok menjadi pertikaian dan kerusuhan yang melibatkan identitas agama mereka masing-masing. Padahal yang sebenarnya menjadi pemicu utamanya adalah persoalan-persoalan yang menyakut kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Agama menjadi isu menarik untuk menyita perhatian media dan masyarakat secara luas agar pertikaian dan kerusuhan yang terjadi mendapat perhatian secara khusus.

Menilik beberapa konflik sosial terutama yang mengatasnamakan agama, dan penyelesaian yang belum menyentuh dasar permasalahannya, adalah karena konflik tersebut terletak dalam bingkai tafsir egositas sektarian, bukan bingkai tafsir pluralitas sosial yang mengedepankan keutuhan umat dan keutuhan bangsa.

Selanjutnya, dalam pandangan masyarakat di luar Islam pun terdapat berbagai tafsir yang kemudian mengeras menjadi kekhawatiran tersendiri ketika kelompok masyarakat non-muslim ini melihat praktik internal masyarakat muslim. Penajaman kekhawatiran sosial menjadi bentuk-bentuk pemejalan phobia-Islam atau bahkan “takut-Islam” bisa menjadi rasional, dan mengingat penduduk muslim di Indonesia yang mayoritas, maka paduan antara kegamangan masyarakat muslim dan kekhawatiran atau ketakutan masyarakat non-muslim terhadap praktik sosial masyarakat muslim yang dipersepsi sarat kekerasan dapat merupakan bencana sosial yang dapat mengancam keutuhan NKRI.

Persoalan ini tentunya tidak sesederhana memetakan antara dua kutub pemikiran tentang praktik sosial yang berakar dari tafsir atas ajaran agama Islam yang kemudian ditafsir oleh masyarakat di luar Islam sebagai “Islam yang keras”; dan “praktik arogansi mayoritas” yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat muslim, yang kemudian tergeneralisasi yang pada akhirnya juga berujung pada persepsi “Islam yang tak ramah”. Dialektika ini memunculkan wajah “Islam yang tak ramah”, yang secara sosial belum memenuhi kriteria “rahmatan lil alamiin’ . Media massa yang mem-blow up berita tentang konflik dan kekerasan sosial bersenjata yang melibatkan sebagian warga muslim, isu jihad, praktik-praktik kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan “Islam” di luar Indonesia dan juga di Indonesia tak jarang juga turut memperkeras wacana dan perilaku “Islam-intoleran” di Indonesia, yang kemudian menjadi momok baik bagi sebagian warga muslim sendiri dan juga bagi warga non-muslim. Memang, secara kuantitatif perilaku dan praktik “Islam tak ramah” ini tentu jauh lebih sedikit dibanding dengan pelaku “Islam normal”. Namun, secara kualitatif, fenomena “Islam keras” atau “Islam intoleran” adalah realitas sosial.

Realitas sosial ini menyiratkan berbagai pertanyaan tentang mengapa masyarakat muslim di Indonesia begitu rapuh dan rentan terhadap praktik-praktik intoleran terhadap kelompok lain dalam masyarakat Islam, padahal sebagai ajaran, Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai “ajaran kebajikan universal” (rahmatan lil alamiin). Di sini, penting untuk menggarisbawahi tentang mengapa masyarakat muslim menemui kendala serius dalam mengaplikasikan ajarannya yang memuat “ajaran kebajikan universal” (rahmatan lil alamiin) itu? Ajaran kebajikan universal (rahmatan lil alamiin) tentu sarat dengan ajaran budi pekerti, toleransi, pluralisme dan humanis. Tetapi internalisasi, sosialisasi dan habituasi ajaran tersebut mendapat permasalahan serius dalam masyarakat pemeluknya yang justru mengembangkan Islam dalam wajah berkebalikan dengan nilai-nilai “rahmatan lil alamiin”, yakni tampilan wajah Islam yang intoleran dan berada dalam bingkai persepsi sosial tak bersahabat. Asumsi yang dapat dibangun di sini  adalah adanya transformasi sosial yang membias-menyimpang dari praktik sosial masyarakat muslim di Indonesia sehingga memunculkan definisi praktik sosial yang berbeda dari ajaran Islam yang toleran dan damai. Ini adalah realitas. Telah terjadi. Mungkin sedikit, secara kuantitatif. Namun, secara kualitatif, ini nyata. Dan telah menimbulkan masalah. Realitas ini memunculkan tafsir baru dan respons sosial. Orang mulai memunculkan gagasan tentang tafsir sosial atas praktik ajaran Islam yang secara sosial bisa dibaca sebagai “Islam yang ramah”, “Islam yang toleran”. Dan terminologi ini diberi nomenklatur (biar ndak repot menyebutnya) yakni “Islam Nusantara”. Jadi, “Islam Nusantara” bukanlah agama baru. Ia hanyalah tafsir sosial atas fenomena yang dimunculkan oleh umat Islam sendiri. Ia adalah semangat “Satu Islam” dalam tafsir yang lebih dekat dengan penerimaan umat tempat Islam tersebut berada.  Atau, bisa jadi gagasan “Islam Nusantara” ini merupakan “shock therapy” sebagai upaya dialektik untuk  mengedukasi umat Islam yang terbelah ini pada pencapaian “wajah Islam-yang-satu dan damai.***

Wawan E. Kuswandoro

Beragama Islam, tinggal di Jawa Timur.