Dimensi Spiritual Gunung Bromo dan Peran Dukun Dalam Masyarakat Tengger
[youtube]https://youtu.be/HmqZyEtuZ2k[/youtube]Gunung Bromo dan Dukun memiliki makna dan dimensi spiritual yang istimewa bagi warga Tengger. Bagi orang luar, bolehlah gunung Bromo dipersepsi sebagai sebuah kawasan wisata yang indah, sejuk segar alami nan eksotis lagi menawan. Memang secara fisik sangat bagus (asalkan tetap terpelihara dari kerusakan). Di balik itu, ada makna spiritual magis yang tersembunyi. Dan dukun, pemandu spiritual warga Tengger, dalam konteks peribadatan, spiritualitas (pujan), merupakan figur sentral yang menghubungkan insan Tengger dengan anasir adi kodrati melalui simbol Bromo (Brahma). Dukun di sini memiliki peran spiritual, sosial dan politik. Dan jangan berpikir bahwa makna dukun di sini sama dengan “dukun” dalam bayangan pikiran manusia modern yang sedang bertransformasi-balik menuju pra-modern, yang menganggap dukun sebagai “dukun pelet”, “dukun santet”, kayak di TV itu.. (pasti korban TV tu.. wkwkwk.. :D). Sama sekali bukan! Dukun Tengger ini sama maknanya dengan kiai, ustad, pendeta, pastor, rabbi.
Sebenarnya ulasan tentang Gunung Bromo dan dukun telah saya sajikan di artikel Budaya dan Kearifan Lokal Tengger, namun untuk mempermudah pembaca menemukan tulisan tentang dimensi spiritualitas gunung Bromo dan peran dukun dalam masyarakat Tengger, maka saya jadikan artikel tersendiri.
Gunung Bromo, merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Sebagai sebuah obyek wisata, gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif. Gunung Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut, berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Bentuk tubuh gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera dan lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo. Di kawasan sekitar gunung Bromo terdapat beberapa gunung kecil: gunung Batok (2.470 m), gunung Kursi (3.392 m), gunung Watangan (2.601 m), gunung Widodaren (2.600 m), dengan suhu rata-rata 7 – 18 ºC.
Penyebaran komunitas Tengger ke empat arah mata angin yang mengelilingi Gunung Bromo seolah menyimpan misteri mistik tersendiri. Semacam konsep kearifan kejawen yang berbunyi kiblat papat limo pancer, Suku Tengger seolah mengidentifikasi diri sebagai kiblat papat dan gunung Bromo sebagai pancer-nya. Artinya, keseluruhan aktivitas ritual suku Tengger terpusat di Gunung Bromo.
Bromo (gunung Bromo), bagi masyarakat Tengger memiliki makna sakral dan suci, serta tidak hanya berdimensi spiritual (pusat pemujaan), sekaligus berdimensi sosial. Bromo, berasal dari kata “Brahma”[1], merujuk pada nama dewa dalam ajaran agama Hindu. Brahma juga berarti singgasana, tempat bertahta, landasan, chakra (pusat kehidupan atau pusat kekuatan). Tak heran jika masyarakat Hindu Tengger ini sangat menghormati gunung Bromo. Pada dimensi spiritual, Bromo bagi masyarakat Tengger merupakan punjêré kauripan (pusat kehidupan), dan dianggap gunung suci, walaupun mereka menolak dikatakan sebagai pemuja gunung Bromo. Bagi mereka, sesembahan adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Gunung Bromo adalah pusat kekuasaan dan tahtanya. Pada dimensi sosial, Bromo merupakan arena bersosialisasi antar sesama warga Tengger (nglumpuke wong Tengger) yakni pada saat upacara Yadnya Kasada (dijelaskan pada artikel “Yadnya Kasada”). Juga merupakan arena bersosialisasi atau berkomunikasi dengan alam. Karena masyarakat secara mayoritas hidup dari bercocok tanam, dan kesuburan lahan pertanian mereka tergantung dari semburan abu vulkanik dari gunung Bromo (masyarakat mengetahui dan memahami hal ini), maka mereka menganggap gunung Bromo ini membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Tradisi dan adat kehidupan masyarakat Tengger tidak dapat dilepaskan dari konsep tentang Bromo (gunung Bromo). Ikatan spiritual masyarakat Tengger dengan Gunung Bromo (Brahma) ini seolah-olah telah menjadi identitas spiritual masyarakat Tengger. Di dalamnya terdapat ajaran tentang kehidupan: berhubungan dengan kekuatan supranatural secara transendental, berhubungan dengan sesama makhluk dan dengan alam.
Konsep anTeng – seGer (Teng-Ger) yang berarti damai dan makmur dan Tri Hita Karana ini begitu dihayati oleh masyarakat Tengger. Yang dapat dilihat pada masyarakat Tengger sekarang, adalah bahwa di Tengger tidak dikenal adanya praktik tindakan social delinquency dan kekerasan sosial, seperti pencurian, perzinahan, perselingkuhan, perkelahian, dsb. Fakta ini juga disampaikan oleh Ayu Sutarto[2].
Praktik penghayatan ajaran tersebut yang membedakan antara praktik Hindu Tengger dengan Hindu Bali, walaupun bersumber dari ajaran yang sama, yakni agama Hindu. Orang Tengger berpendapat bahwa Hindu adalah satu, namun tidak ada keharusan bagi orang Tengger untuk sama dengan orang Bali dalam hal praktik peribadatan. Perbedaan ini misalnya tampak pada pola penataan sesaji, disamping tentu saja penghayatan tentang Bromo dan Yadnya Kasada, serta eksistensi dukun. Menurut Parisada Hindu Darma, masyarakat Tengger disebut memeluk agama Buddha Mahayana[3]. Tidak seperti Hindu, orang Tengger tidak memiliki candi-candi dalam melakukan upacara, namun peribadatan (pujan) dilakukan di poten atau punden.
Dukun Tengger
Pada kehidupan sosial masyarakat Tengger, ada hal yang menarik, yaitu, walaupun masyakat suku Tengger ini tersebar dan terpisah di empat kawasan administratif (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang), orang-orang Tengger satu sama lain memiliki ikatan emosionalitas yang cukup tinggi. Wilayah administratif hanya menunjukkan batas wilayah fisik, tetapi ikatan batin antara mereka terjalin secara historis dan turun temurun yang tidak bisa dibatasi oleh garis perbatasan. Kuatnya ikatan antar masyarakat di pegunungan Tengger, utamanya masyarakat yang selama ini mengidentifikasi diri sebagai “masyarakat adat Tengger”, terutama dipengaruhi oleh kesamaan identitas dan adat istiadat yang mereka miliki. Artinya, kuatnya masyarakat Tengger dalam memegang nilai-nilai adat istiadat selama ini memberikan pengaruh positif bagi kuatnya ikatan batin antar masyarakat dalam komunitas Tengger. Singkatnya, yang dapat disebut sebagai masyarakat Tengger (wong Tengger), adalah masyarakat yang mendiami lereng pegunungan Bromo-Semeru di wilayah Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang, beragama Hindu dan memegang teguh adat istiadat Tengger.
Sistem sosial masyarakat suku Tengger tidak bisa dilepaskan dari peran dukun. Dalam masyarakat Tengger, secara adat, dukun merupakan pewaris tradisi Tengger, memegang peranan yang sangat strategis, sama dengan kedudukan kiai dalam masyarakat Muslim dan pendeta dalam masyarakat Kristen serta pastor dalam hirarki Katolik. Di Tengger, pengertian dukun sangat jauh berbeda dengan pengertian dukun pada masyarakat lain. Seorang dukun Tengger merupakan tokoh panutan masyarakat yang mempunyai fungsi spiritual, yaitu memimpin upacara keagamaan/ adat, memimpin upacara perkawinan, kematian dan berbagai keperluan religius lainnya. Sedangkan pada fungsi sosial, dukun berperanan sebagai mediator antara urusan warga masyarakat (selain urusan yang berhubungan dengan pemerintahan). Memang kadang-kadang para dukun juga dimintai tolong oleh warga untuk urusan pengobatan, namun ini di luar fungsi dan tugas utama seorang dukun Tengger. Biasanya, hal seperti ini hanya terjadi karena kebetulan sang dukun secara pribadi memiliki kemampuan linuwih (kelebihan secara spiritual). Namun fungsi utama dukun Tengger ini adalah sebagai pemandu spiritual warga. Masing-masing desa Tengger memiliki satu orang dukun desa. Desa yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan wilayah yang luas, dapat memiliki lebih dari satu dukun (biasanya dua orang dukun) untuk dapat menjangkau umat tersebut. Untuk dapat menjadi seorang dukun, syaratnya harus memiliki kemampuan khusus tentang agama Hindu dan mampu menghapal mantra-mantra, dan disegani oleh masyarakat (mirip dengan konsep kiai dalam masyarakat Muslim dari sub kultur NU). Dari tradisi Tengger sejak jaman dahulu, jabatan dukun senantiasa turun temurun (dari garis keturunan yang sama dengan pendahulunya, dan selalu laki-laki), walaupun ada ujian khusus bagi para calon dukun sebelum disahkan dan dilantik oleh kepala dukun pada waktu upacara Yadnya Kasada. Uji kompetensi calon dukun ini berkisar pada penguasaan agama Hindu dan penguasaan mantra-mantra. Para calon dukun ini diuji kemampuan membaca mantra di hadapan dukun senior. Setiap calon dukun harus mampu menghapal sekitar 153 seloka (judul mantra) dari 63 bab.
Seorang dukun (dukun desa) “hanya” bertanggungjawab terhadap umat yang ada di desanya. Di setiap desa Tengger, baik yang berada di Probolinggo maupun Pasuruan, Lumajang maupun Malang, masing-masing memiliki seorang dukun. Dukun-dukun desa ini dikoordinasi oleh dukun yang bertindak selaku “koordinator wilayah” untuk masing-masing distrik Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Pembagian wilayah “kekuasaan” ini, untuk daerah timur (disebut Brang Wetan) yaitu Probolinggo dan Lumajang dikoordinasi oleh seorang Dukun Brang Wetan. Demikian pula untuk Brang Kulon (wilayah Barat) yaitu Pasuruan dan Malang, dikoordinasi oleh seorang Dukun Brang Kulon. Dan untuk mengkoordinasi semua dukun, mulai dari Dukun Desa (dukun desa biasanya hanya disebut dukun saja) hingga Dukun Brang, adalah seorang Kepala Dukun. Kepala dukun ini dipilih oleh semua dukun dan sesepuh desa, termasuk kepala desa. Pemilihan dilakukan secara musyawarah kekeluargaan, yang dilakukan secara santai sambil menikmati malam di kawasan gunung Bromo, tanpa ada pemilihan secara formal menggunakan biting[4] atau surat suara. Biasanya pemilihan kepala dukun ini dilakukan pada saat semua dukun berkumpul, yakni pada waktu (setelah) upacara Yadnya Kasada. Syarat untuk menjadi kepala dukun ini, mirip dengan syarat menjadi dukun, yakni berkisar pada penguasaan ajaran agama Hindu, termasuk penguasaan mantra-mantra. Dan tidak kalah penting adalah unsur senioritas, sehingga biasanya mereka yang menjabat kepala dukun ini adalah mereka yang sudah berumur, dan tidak selalu berdasar garis keturunan. Kepala dukun yang sekarang (pada saat penulis berkunjung, tahun 2007) dijabat oleh Moejono (dukun dari desa Ngadas, Probolinggo), yang sebelumnya menjabat selaku wakil kepala dukun pada waktu jabatan kepala dukun dipegang oleh Soedjai[5] (telah meninggal dunia). Sekarang (2015) jabatan kepala dukun dipegang oleh Sutomo. Kepala dukun bertugas mengkoordinasi semua dukun Tengger yang tersebar di empat wilayah (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang). Termasuk dalam tugas kepala dukun adalah menyelesaikan konflik yang ada antar dukun, memfasilitasi pemecahan permasalahan umat Tengger di daerahnya masing-masing. Selain menggunakan media berkumpul pada waktu upacara Yadnya Kasada. Seorang kepala dukun biasanya melakukan kunjungan ke empat daerah masyarakat Tengger (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang). Maka, secara tradisi, seorang kepala dukun biasanya berasal dari kalangan berkemampuan finansial cukup baik. Dalam struktur sosial masyarakat Tengger, posisi dukun, lebih-lebih kepala dukun, menduduki posisi teratas. Karena itulah, jabatan kepala dukun merupakan jabatan yang sangat strategis dalam struktur sosial masyarakat Tengger. Disamping memiliki legitimasi spiritual dan sosial yang sangat kuat, ia juga memiliki power. Dan uniknya, seorang kepala dukun tidak bertindak selaku kepala dukun, tetapi selaku dukun desa (mewakili desa tempat asalnya). Dalam pembacaan doa (mantra), seorang kepala dukun tidak membacakan doa atas nama seluruh umat Tengger, tetapi atas nama desanya masing-masing. Artinya, walaupun kepala dukun memiliki otoritas sosial (juga politik), dalam hal membaca doa (pada upacara Yadnya Kasada), seolah-olah tidak memiliki otoritas relijius (urusan doa justru menjadi wilayah dukun desa, atas nama desa masing-masing).
Inilah menarik dan khasnya masyarakat di pegunungan Tengger. Ketaatan pada adat istiadat telah memberikan kontribusi bagi relasi sosial yang cukup kondusif serta kuatnya kemampuan masyarakat dalam mempertahankan identitas kulturalnya sebagai masyarakat adat. Sumber dari aktivitas kehidupan masyarakat Tengger adalah bagaimana mereka mempertahankan, mewarisi dan menghidup-hidupkan nilai-nilai adat istiadat yang sudah ada dan melembaga sejak bertahun-tahun lamanya.***
[1] Dewa Brahma dalam literatur Hindu juga disebut Dewa Api. Dalam pemahaman masyarakat Tengger, dianggap sebagai Dewa Pandai Besi yang bersemayam di gunung Bromo.
[2] Ayu Sutarto, op.cit., hal. 1, dan Ayu Sutarto, “Tinjauan Historis dan Sosio-Kultural Orang Tengger”, dalam Majalah Argopura, Vol. 18 No. 1 dan 2, Th.1998: 21 – 37.
[3] Bandingkan dengan pengakuan orang Tengger, yang menyebut keyakinannya dengan ”Shiwa Buddha”.
[4] Biting adalah rautan batang bambu yang dipotong kecil-kecil mirip tusuk gigi. Dalam pengertian ini biasanya digunakan untuk menghitung suara dalam pemilihan kepala desa.
[5] Soedjai adalah seorang dukun desa Ngadisari, Probolinggo (telah meninggal dunia). Penggantinya adalah: Sutomo.