Bromo Tengger

Tengger berikut Bromo-nya, saya sajikan dalam halaman tersendiri karena unik dan perlu bahasan tersendiri. Bromo – Tengger ini mengandung nilai sejarah, budaya dan filosofi hidup bahkan politik, yang menarik untuk “disimak, melengkapi wacana keindonesiaan atau kenusantaraan kita.

Belum banyak orang mengetahui tentang Tengger kecuali sebatas gunung Bromo, kaldera, orang sarungan, kuda, jeep dan lautan pasir. Pernah dengar “Pura Luhur Poten Bromo”? Hayoooo…. gak kaaan… ngaku aja…. wkwkwk.. Paling tahunya lautan pasir, kaldera sama bukit teletubbies… wkwk….. :D. Naa… kalau sudah pernah blakra’an ke lautan pasir Bromo dan kaldera, pasti tahu “Pura Luhur Poten Bromo”. Itu lho…. pura di lautan pasir.. wkwkwk… :D. Itu sebenarnya “poten” (tempat peribadatan khas umat Tengger). Tapi ndak apa-apa lah disebut “pura”, mengikuti penamaan umum. Tengger ini unik. Punya nama-nama unik. Bahkan nama agamnya pun unik, yakni “Shiwa-Buddha”. Bukan Buddha, bukan pula Hindu. Tetapi, hebatnya orang Tengger, mereka punya kebesaran jiwa yang patut dicontoh. Mereka “mengalah” terhadap nomenklatur agama mereka karena negara hanya memiliki nomenklatur “Hindu” atau “Buddha”. Tidak ada “Shiwa-Buddha”. Jadilah agama mereka tercatat sebagai “Hindu”. Wong Tengger tidak ribut soal penamaan bahkan atas agama yang umumnya dianggap sensitif. Mereka fokus pada inti ajaran, dan yang ini tidak boleh diintervensi. Bahkan, “agama Tengger” ini, walaupun dinamai “Hindu”, tetap berbeda dengan Hindu Bali. Okay… jelasnya nanti ya…. di artikel aja.

Okay, blakra’an saya ke Bromo, bertemu dan berbincang dengan Bapak Sutomo, kepala dukun Tengger, dengan Bapak Sasmito, saudaranya pak Sutomo, dia dukun desa Ngadas. Dan beberapa teman dan saudara saya yang tinggal di sana. Sebenarnya bapak Sutomo ini masih berkerabat dengan saya (dari perkawinan), sehingga saya dengan mudah memenuhi rapport sebagaimana dimaksudkan oleh Koentjaraningrat[1]. Saya pun diterima dengan baik di ruang perapian, tanda bahwa dianggap dekat (tamu pada umumnya akan diterima di ruang tamu). Ini bukan diskriminasi, tetapi sebuah kewajaran, kenormalan. Tamu ya di ruang tamu, ngapain dibawa ke ruang perapian (pribadi) segala… :D. Dalam gambar tu perapiannya yang di depan kami, tempat sajian hidangan, berbalut keramik putih, cuma lubang apinya ndak kelihatan…

DSCF5409

Ini hasil blakra’an dan ngobrol saya dengan kepala dukun Tengger, dukun desa Ngadas, dan beberapa tokoh desa di Ngadisari, Ngadas dan Wonokerto. Saya turunkan dalam beberapa tulisan berseri…. 😀

 

1. Masyarakat dan Budaya Tengger

2. Kearifan Lokal Tengger

3. Dimensi Spiritual Gunung Bromo dan Peran Dukun Tengger

4. Upacara Yadnya Kasada

_________________________________

[1] Koentjaraningrat, dalam ”Metode-metode Penelitian Masyarakat”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, menyebutkan salah satu syarat utama yang harus dimiliki oleh peneliti adalah memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat yang diteliti (berikut informan), yang disebut rapport, sehingga memungkinkan peneliti untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan informan (masyarakat yang diteliti) dengan mudah dan diterima dengan baik oleh masyarakat.