KRITIK ATAS TEORI MODERNITAS
Setelah kemunculan Teori Modernitas yang berusaha menjelaskan realitas sosial dunia modern, kemudian diketahui terdapat beberapa “kekurang-cocokan” teori modernitas. Artikel ini juga menjelaskan realitas sosial dunia modern secara kritis.
Teori Modernitas, yang menjelaskan fenomena modernitas (dunia modern) yaitu suatu kondisi sosial yang bercirikan efisiensi, kecepatan, rasionalitas formal, praktis, cepat, instan, terstandard, serba uang, keterasingan pengalaman dan akhirnya (menjadi) tidak rasional yang terbalut rasionalitas.
Fenomena modernitas yang menawarkan aneka kemudahan, kecepatan, fasilitas, kenyamanan, kenikmatan hidup sejatinya menyisakan beberapa persoalan yang mengancam sosialitas dan eksistensi humanitas manusia: (1) grand narrative yang “mendesain” kehidupan sosial dan peradaban dunia dalam satu skenario tunggal-seragam yang mendominasi sehingga memunculkan (2) dominasi struktural budaya (dengan kesadaran palsu-nya) dan melahirkan (4) dunia berdimensi tunggal. Sedangkan ancaman ke-5, adalah apa yang saya namakan ”silence world” (dunia senyap) akibat pengaruh teknologi informasi yang berakhir pada alienasi (keterasingan), together but alone (kesepian dalam keramaian).
Tulisan singkat ini memberikan kritik atas Teori Modernitas yang didasarkan atas beberapa kelemahan karakteristikal fenomena modernitas tersebut.
Pendahuluan: Review Teori Modernitas
Teori tentang modernitas adalah teori-teori sosial yang memberi penjelasan dan interpretasi umum tentang kekuatan-kekuatan sosial yang telah membentuk dunia modern, yakni pemikiran modern untuk memahami “dunia modern” yang berisi totalitas kekuatan-kekuatan yang bekerja dalam membentuk masyarakat modern[1]. Pemikiran ini tak lepas dari hakikat ilmu yang melekat dengan pembahasan terhadap konteks sosial dan gambaran “dunia modern”. Modernitas (modernity), atau “kemodernan”, atau merujuk pada kehidupan masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat dengan keadaan sosial yang telah mengalami perubahan dan telah berbeda dari keadaan masyarakat sebelumnya yakni pada abad pertengahan. Modernitas ini muncul terdorong oleh perubahan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan (revolusi ilmu pengetahuan), perubahan di bidang tata kelola ekonomi (revolusi industri Inggris) dan tata kelola sosial (revolusi Prancis). Perubahan-perubahan tersebut membawa konsekuensi kelahiran elemen-elemen modernitas: sains, teknologi, demokrasi dan kapitalisme[2]. Kondisi keberbedaan (dari masyarakat sebelumnya/ “pra-modern”) yang melambari pemahaman ‘modernitas; ini juga diberikan oleh Outhwaite yang menyebut ‘modernitas’ sebagai “konsep yang bertentangan”. Dikatakannya, modernitas ini mengambil makna dari hal-hal yang ditolaknya dan dari hal-hal yang didukungnya[3]. Pengertian ini mengisyaratkan adanya perubahan kontinyu pada masyarakat, yaitu perubahan dari masyarakat tradisional, kemudian “berevolusi” menjadi masyarakat industri dengan adanya revolusi industri yang segera dibarengi kemunculan masyarakat ekonomi kapitalis dalam konsepsi Marx. Dengan mengumpulkan gagasan-gagasan modernitas dari Marx, Weber, Durkheim dan Simmel, dan dipadukan dengan pemikiran Outhwaite dan Donny Gahral Adian di atas, modernitas dapat diartikan suatu kondisi sosial yang telah berubah dan bertentangan dari kondisi sebelumnya dan perubahan itu ditentukan oleh ekonomi kapitalis (Marx), rasionalitas formal (Weber), solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif (Durkheim) serta dipenuhi oleh iklim ekslorasi potensi, besarnya pengaruh uang beserta akibat ikutannya terutama alienasi (Simmel).[4] Kondisi akumulatif yang seperti ini telah menjadikan masyarakatnya mengutamakan efisiensi, yang bermakna “cara terbaik untuk mencapai tujuan” dan itu berarti: cepat, praktis, tak jarang juga instan.
Dan ketika konteks sosialnya adalah “masyarakat modern”, maka teori sosial yang relevan adalah “teori (sosial) tentang modernitas. Teori-teori tentang modernitas bersumber dari karya pemikir sosiologi dari klasik hingga modern seperti Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Giddens, Beck, Baumans, Habermas dan Castells. Modernitas, menurut Marx ditentukan oleh ekonomi kapitalis, sedangkan menurut Weber, rasionalitas formal. Adapun Durkheim, solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif. Sementara itu, Simmel memandang modernitas memberikan keuntungan karena memungkinkan untuk mengeksplorasi berbagai potensi dan kemampuan instrinsik manusia. Simmel juga mengajukan pemikiran tentang pengaruh uang beserta akibat ikutannya (terutama alienasi) dalam modernitas. Anthony Giddens, menggambarkan modernitas (kehidupan modern) laksana sebuah panser raksasa (disebut “juggernaut”) yang terlepas dan tak terkendalikan lagi, untuk menggilas kehidupan manusia, sehingga menghasilkan “dunia yang tak terkendali” juga (runaway world). Gagasan ini sejalan dengan teori Strukturasi Giddens, yakni tentang ruang dan waktu dan juggernaut ini melebihi kekuasaan agent dalam mempengaruhi struktur.[5]. Giddens mendefinisikan modernitas dilihat dari empat institusi mendasar yaitu: kapitalisme, industrialisme, kemampuan mengawasi (surveillance capacities), dan pengendalian atas alat-alat kekerasan, dengan memusatkan kajian pada negara-bangsa (nation-state). Dinamisme modernitas dari teori strukturasi Giddens, melalui tiga aspek: distanciation (pemisahan ruang dan waktu), disembedding (keterlepasan), dan reflexivity (refleksivitas). Ketiga aspek ini yang kemudian menyeret “manusia modern” menuju “keterasingan pengalaman” (sequestration of experience) yaitu suatu proses yang berkait dengan penyembunyian yang memisahkan rutinitas kehidupan sehari-hari dari fenomena-fenomena seperti kegilaan, kriminalitas, penyakit, kematian dan seksualitas. Keterasingan pengalaman ini sebagai akibat dari meningkatnya peran sistem abstrak dalam kehidupan sehari-hari.[6]
Sementara itu, Beck, mengusung gagasan tentang “masyarakat berisiko”, yakni “masyarakat baru” yang terlahir dari pelarutan masyarakat industri, atau yang disebut masyarakat dengan “tipe modernitas lain” (modernitas refleksif, reflexive modernity).[7]. Zygmunt Bauman, mengajukan gagasan bahwa modern rasionalitas formal adalah holocaust atau pembunuhan massal (seperti pada zaman Nazi Hitler terhadap Yahudi) yakni “pembunuhan massal” melalui birokrasi rasional-modern (meminjam rasionalitas Weber) dan menggunakan kekuasaan. Ciri-ciri rasionalisasi yang sesuai dengan holocaust adalah irrasionalitas dari rasionalitas dan dehumanisasi[8]. Habermas, menyatakan bahwa modernitas sebagai “proyek yang belum selesai”. Dan, Castells, berkontribusi dengan pemikirannya tentang informasionalisme dan masyarakat jaringan sebagai akibat dari revolusi teknologi informasi yang kemudian melahirkan “kultur virtual”, kultur virtualitas riil dan kapitalisme informasional. Castells menyebut bahwa di titik ini negara semakin tak berdaya dan tergantung pasar kapital global.[9]
Kritik Atas Teori Modernitas: Ancaman Terhadap Sosialitas dan Humanitas
Kritik atas teori modernitas, saya mengadopsi pemikiran F. Budi Hardiman sebagai pembuka jalan, yakni gagasannya tentang corak-corak kesadaran yang terungkap dari studi tentang manusia modern, yang menurutnya lebih merupakan proses daripada esensi yang dialami dalam kesadaran manusia tersebut yakni individuasi, distansi, progress, rasionalisasi, dan sekularisasi.[10]. Proses-proses tersebut memberi pencerahan akan makna konteks kehidupan modern yang melibatkan individuasi (pengindividuan) sebagai antitesis “grand narrative” yang mendominasi masyarakat modern. Distansi individu baik antar individu maupun dalam konteks sosial dalam progress, rasionalisasi dan sekularisasi memunculkan beberapa pemahaman kritis akan adanya ancaman humanitas dan sosialitas kehidupan dan peradaban manusia. Yaitu: grand narrative (beserta fenomena juggernaut) versus little winner, dominasi struktural budaya (beserta kesadaran palsu-nya), dunia berdimensi tunggal, dan apa yang saya namakan ”silence world” (dunia senyap).
Grand Narrative versus Little Winner
Modernitas, mengasumsikan masyarakat modern dan perubahannya, yakni yang meliputi perilaku, sosial, politik, seksualitas, dan segenap skenario perkembangannya, didasarkan atas sebuah narasi besar (grand narratives) yakni suatu konstruks dunia yang meliputi kriteria kebenaran dan validasi ilmu pengetahuan tentang dunia modern, bahwa masyarakat (dan dunia) modern tunduk pada “aturan grand narasi” ini. Yaitu, dunia yang terstruktur, terdominasi oleh arus besar (struktur) piranti-piranti modernitas: efektif-rasional (Weber), cepat-instant yang menyerbu perilaku manusia, perikehidupan sosial, politik bahkan seksualitas. Grand naratives ini dalam dunia modern digambarkan oleh Giddens sebagai juggernaut yang melindas kehidupan manusia.
Fenomena ketakberdayaan subjek manusia dalam skenario grand narratives ini mengisyaratkan dengan jelas, ketertundukan subjek atas struktur yang menghegemoni. Padahal realitas sosial senantiasa mengenal peran-peran subjek (aktor, individu) yang bersumber dari “kecerdasan budaya”, local wisdom, local genius, dan praktik-praktik sosial ini tak jarang membawa solusi bagi masalah sosial masyarakat, dan ini layak untuk diakui sebagai sumber pengetahuan. Peran-peran kecil dan “praktik-cerdas” (little winner) dari praktik-praktik sosial ini bahkan menjadi the sacred wisdom yang tumbuh dari masyarakat. Secara sosiologi pengetahuan, praktik “little winner” ini mampu menjadi “rujukan kecil” (mini narratives) yang berguna bagi kehidupan sosial, tidak hanya “grand narratives”.
Dominasi Budaya dan Runaway World
Karakter masyarakat modern, menurut Outhwaite, adalah masyarakat industrial dan ilmiah, berdasarkan filsafat rasionalisme dan utilitarianisme. Ia menolak kultur masa lalu, kultur yang tidak bisa dipahami. Modernitas selalu menatap masa depan[11]. Pandangan Outhwaite tentang modernitas (masyarakat modern) sejalan dengan konsep dasar masyarakat yang berkarakter dinamis, senantiasa berubah. Karakter serba cepat dan instan berpadu dengan serba rasional (rasionalis) dan berdaya-guna (utilitarianis) yang didukung oleh teknologi (termasuk teknologi informasi) sebagai fasilitas penting masyarakat modern, telah “sempurna” menjadikan masyarakat modern ini tergilas oleh “aturan modernitasnya sendiri” yang digambarkan oleh Anthony Giddens sebagai juggernaut (panser raksasa)[12] yang menggilas apa-apa yang di depannya termasuk kesadaran humanisme manusia dalam masyarakat modern tersebut tanpa dapat dikendalikan lagi sehingga disebut dunia yang tak terkendali (runaway world)[13].
Dominasi budaya yang kemudian merembes ke ranah gaya hidup dan cara hidup manusia modern, telah benar-benar menunjukkan bahwa masyarakat modern ditandai dengan adanya dominasi oleh elemen kultural atau “penindasan kultural atas individu dalam masyarakat”. Penindasan ini terjadi pada elemen-elemen kehidupan sosial yang menjangkau relung-relung sosial hingga ke wilayah gaya hidup, pemikiran, penggunaan alat-alat dan apa yang disebut “(produk) teknologi modern”. Penindasan kultural dalam masyarakat modern dihasilkan oleh rasionalitas. Kemudian, dominasi dan penindasan kultural menghasilkan irasionalitas; sehingga muncullah “irrasionalitas di dalam rasionalitas” yang menjadi ciri masyarakat modern.
Dunia Berdimensi Tunggal
Elemen “rasionalitas dan teknologi modern”, yang sejatinya berisi ketidakrasionalan tadi, berperan penting sebagai suatu “metode pengendalian eksternal” terhadap individu manusia modern. Teknologi modern (produk kebudayaan) telah menguasai manusia! Ia tampak “netral” ketika diciptakan tetapi kemudian ia menjelma menjadi “alat bantu efektif” penindas individu! Seperti yang diyakini oleh Herbert Marcuse bahwa teknologi tidaklah netral. Ia sebenarnya memperbudak, dan membantu menindas manusia! Kebebasan batin aktor (individu) dilanggar dan dikurangi oleh teknologi modern, sehingga memunculkan apa yang disebut Marcuse sebagai “masyarakat berdimensi tunggal”, yakni ketika individu telah kehilangan kontrol atas pikiran kritis dan masyarakatnya. Di sinilah munculnya apa yang disebut sebagai “industri kultur”, yang bisa dibentuk, diatur, dimaterialkan, distrukturkan, dikonstruksikan, didefinisikan. Pelaku pengendali dari “sistem kultural baru” ini bisa jadi adalah elit baik individual maupun korporasi, menggunakan instrumen “produk kebudayaan” juga seperti media massa berpadu dengan kekuatan kultural, sosial, politik dan ekonomi. Di titik inilah muncul “kultur yang diatur, tak spontan, dan palsu”, atau yang dikenal dengan “kultur massal” atau pop culture.
Dunia Senyap (Silence World)
Istilah “dunia senyap (silence world) ini bikinan saya sendiri, belum ada dalam literatur ilmu sosial. Modernitas, salah satunya menampilkan fenomena kehidupan sosial yang dipenuhi oleh penggunaan alat-alat teknologi informasi-komunikasi semacam komputer, laptop, internet, yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan siapa saja di mana saja dan dari mana saja bahkan tanpa beranjak dari tempat tidurnya. Dan kemudian fungsi-fungsi ini diperkecil dalam bentuk perangkat jinjing-gerak (portable) berbentuk “hand-phone” (telepon genggam) dengan kemampuan jelajah internet (online) yang kemudian dikemas dalam teknologi android, blackberry, windows phone, iPad dsb, sehingga memungkinkan setiap orang untuk tetap bergerak dan beraktivitas sosial selayaknya orang-orang “biasa” namun sesungguhnya mereka ini sedang “berinteraksi sosial” dengan “orang-orang nun jauh di sana”. Fenomena yang seringkali kita saksikan adalah anak-anak muda yang berkelompok dan sedang asyik memainkan gadget mereka. Walaupun mereka duduk berkelompok dan secara fisik berdekatan, namun sebenarnya mereka tidak sedang berinteraksi dan bersosialisasi dalam kelompok itu, tetapi sedang berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang di tempat lain yang jauh jaraknya, tanpa ada batas wilayah dan bahkan negara. Mereka dekat, tetapi tidak saling interaksi. Dari habituasi semacam ini melahirkan “filosofi pergaulan modern” yang berbunyi “teknologi informasi itu mendekatkan yang jauh dan sekaligus menjauhkan yang dekat”. Dunia para “manusia modern” seperti ini adalah “dunia senyap” (noiseless world), dunia bisu. Penghuninya merasa sepi di tengah keramaian (together but alone).
Modernitas, yang juga bercirikan penggunaan teknologi informasi secara masif dan berbaur dengan “irasionalitas dalam rasionalitas” manusia modern, sehingga menambah asupan ke arah masyarakat konsumtif, masyarakat cepat, instant, praktis, masyarakat virtual (online community), maka lahirlah insan-insan “selfish” dan tampak “cuek” karena selalu fokus pada dirinya sendiri, dan gadget-nya sendiri daripada kepada lingkungan sosialnya. Produk “tongsis” (tongkat narsis) yakni sebuah tongkat yang berfungsi memotret diri sendiri yang dilakukan sendiri, adalah bukti produk budaya selfish modernitas. Apalagi didukung dengan gadget yang memenuhi kebutuhan selfish ini: online, bercakap-diri (sehingga “sepi dalam keramaian”), memotret diri sendiri secara swalayan! Benar-benar sendiri, senyap, dan akhirnya terasing dari dunia konteks (sosial)-nya! Mengerikan!
Kondisi yang disebut terakhir ini memunculkan generasi yang “kesepian dalam keramaian” dan menghasilkan filosofi baru “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” akibat penggunaan gadget yang begitu khusyuk sehingga menyandera pikiran dan tindakan manusia modern serta mencerabut kesadaran humanisnya terhadap kehidupan sosial. Dunia yang dihuni oleh “manusia-manusia jenis baru” ini adalah “dunia senyap” (noiseless world) namun high product (efisien dan efektif) tetapi pada suatu ketika “noiseless technology of human-race habituation” ini akan mengendalikan kehidupan dan nasib manusia seperti yang digambarkan dalam film “The Net” yang dibintangi oleh Sandra Bullock, tentang kehidupan otomasi-terkendali-terkomputerisasi sehingga nasib manusia tergantung tombol dan bisa dipermainkan dalam hitungan menit! Mengerikan. Inilah salah satu contoh juggernaut gambaran Giddens. Awas, HP-mu adalah juggernaut ! Renungkan, kamu yang mengendalikan HP atau HP yang mengendalikanmu? Wkwkwk… 😀
Produk modernitas (salah satunya adalah gadget online) telah membawa kemudahan, kepraktisan, kenyamanan, dan kecepatan. Intinya, memenuhi kriteria modernitas yang serba cepat dan rasional (Weber). Rasionalitas ini kemudian terganggu dengan adanya fenomena “mendekatkan yang jauh dan sekaligus menjauhkan yang dekat” tadi itu yang menyebabkan para manusia dalam masyarakat modern ini bergerak secara selfish. Muncullah irrasionalitas dalam rasionalitas, yang merupakan anomali dan bekerjanya fenomena juggernaut ilustrasi Giddens yang sedang menggilas para korbannya yakni “manusia rasional” yang tetap merasa rasional dan tetap tidak merasa terjajah ataupun terhegemoni oleh dominasi kultur modernitas yang tengah menyandera dan menindasnya dengan nikmat.***
___________________
Bacaan lain:
Teori Kritis (Mazhab Frankfurt)