Home: Modal Sosial Dalam Pelayanan Publik Berintegritas
Relasi Negara dan Rakyat: Kontrak Sosial Sebuah Integritas Bawaan
[Modal Sosial Dalam Pelayanan Publik Berintegritas – 2]
Pelayanan publik terbentuk dari kegiatan politik yang muncul dari adanya Negara dan warga. Dalam teori dasar pembentukan Negara dinyatakan bahwa negara dibentuk oleh kesepakatan antara sekelompok individu yang memiliki hubungan sosial, untuk mewujudkan suatu tertib politik yang bisa mengatur kehidupan dan mengakomodasi kepentingan mereka, dengan suatu perjanjian sosial atau kontrak sosial (social contract). Inilah pengertian statis yang diberikan Rousseau tentang Negara sebagai sebuah entitas terlegitimasi. Sekelompok besar individu tersebut memberikan mandat kepada sekelompok kecil individu untuk menjalankan pemerintahan (pengertian dinamis) dengan kewenangan-kewenangan yang telah ditentukan dan disepakati bersama (regulasi). Dalam konteks pemenuhan kepentingan bersama ini, mereka yang diberi mandat, kemudian disebut pemerintah, bertugas menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat (pihak yang tadinya memberinya mandat, mewakili mereka). Pemahaman dasar teori Negara ini mirip relasi organisasi tradisional ketika sekelompok besar anggota masyarakat memberikan mandat kepada sekelompok kecil orang di antara mereka untuk bertindak menjadi pengurus (bekerja dari, oleh dan untuk mereka yang mengutus). Teori klasik Kontrak Sosial yang diperkenalkan oleh JJ.Rousseau ini amat menarik untuk menjelaskan relasi negara dan rakyat dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dan pemberian pelayanan publik yang baik dan memperhatikan nilai-nilai integritas bagi semua orang yang memberinya mandat tersebut (rakyat). Nilai dasar inilah yang seharusnya mendasari semua tindakan yang dilakukan oleh Negara dalam menjalankan fungsinya yakni “sebatas menjalankan mandat”. Akan menjadi sebuah pengkhianatan besar jika mereka (sekelompok kecil orang, pemerintah) yang diberi mandat ini kemudian lantas mengingkari kontrak sosial dengan misalnya melakukan penyelewengan atas pelayanan yang seharusnya diberikan dengan baik atau misalnya melakukan penyelewengan atas penggunaan dana publik yang bersumber dari rakyat, karena sebetulnya aspek pelayanan berikut dana publik yang digunakan dalam pelayanan publik tersebut adalah milik rakyat yang memberinya mandat atas dasar kontrak social tersebut. Kontrak (perjanjian)-nya adalah, bahwa mereka yang diberi mandat akan melakukan tugas -mewakili mereka yang memberi mandat- pemenuhan urusan orang banyak yaitu mengupayakan kesejahteraan bersama. Mengiringi pemberian mandat ini, mereka yang diberi mandat diberikan sejumlah kewenangan untuk mempermudah tugas mereka. Pemberi mandat disebut rakyat, sedangkan pihak yang diberi mandat disebut pemerintah (government).
Dalam “kontrak sosial” tersebut Rousseau menghendaki pemerintahan yang melebihi dari apa yang disebut John Locke sebagai “pemerintahan yang disetujui” oleh rakyat. Berikut pernyataan Rousseau tentang pemecahan masalah dalam Kontrak Sosial”:
“Masalahnya adalah menemukan suatu bentuk asosiasi yang akan mempertahankan dan melindungi dengan seluruh kekuatan umum, orang dan harta benda masing-masing bergabung, dan di mana masing-masing, sambil tidak menyatukan dirinya dengan keseluruhan, bisa tetap mematuhi dirinya sendiri, dan tetap bebas seperti sebelumnya”[1].
Dengan asumsi bahwa kontrak atau perjanjian sosial ini berjalan seimbang, maka kemudian lahirlah bentuk-bentuk pelayanan publik yang baik dan beroperasi demi kepentingan orang banyak (integritas sosial terpenuhi) dan bentuk-bentuk konsekuensi logis yang mengiringinya misalnya pajak, untuk membiayai urusan bersama, dsb, sebagaimana analogi perkumpulan kecil di tingkat RT (Rukun Tetangga), manakala aturan main (“kontrak sosial”)-nya jelas, maka perkumpulan tersebut akan berjalan baik berikut konsekuensi “iuran anggota” (dalam konteks negara, adalah “pajak”) akan mengikuti.
Bahwa kemudian seiring dengan perguliran waktu dan jaman, terjadi penyelewengan atau pembelokan kepentingan yang bertentangan dengan “misi bersama” ini atau bertentangan dengan kepentingan “mereka yang mengutusnya”, maka sangat perlu dilakukan langkah pelurusan untuk kembali kepada “azas kebersamaan” yang dibangun semula. Penyelenggara pelayanan publik (“pihak yang diberi mandat oleh rakyat untuk mewakili mereka melakukan tugas urusan publik”) layak diberi teguran, pengingatan dan kontrol sosial agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Civil Society dan Ruang Publik
Konsepsi Negara yang merujuk teori Kontrak Sosial Rousseau pada bahasan sebelumnya menjelaskan pengertian dasar pembentukan Negara berikut konsekuensinya, yang darinya dapat diambil pelajaran, tentang bagaimana kemudian penyelenggara pemerintahan harus berbuat sesuai dengan kehendak umum dan kemaslahatan bersama. Dinamika sosial dan politik meniscayakan adanya perkembangan dan perubahan pada pola hubungan Negara dan rakyat. Dari konsepsi ini melahirkan pemikiran tentang kewenangan Negara, kekuatan untuk memaksa (coercion) dan melakukan dominasi atas nama kepentingan bersama. Inilah aspek politik dari hubungan sosial Negara dan rakyat yang bersifat dominatif, maka kemudian, dalam bentuk yang operasional, Negara muncul sebagai seperangkat institusi dan norma-norma hukum yang menjalankan dan menegakkan dominasi tersebut. Dalam hal ini Negara merupakan hubungan sosial yang bersifat dominatif[2]. Konsepsi ini kemudian, memunculkan logika politik bahwa Negara yang baik memunculkan pemerintahan yang baik, supaya dapat dibenarkan dan adil menurut nilai-nilai kebenaran universal, jika melakukan dominasi dan koersi (paksaan). Dengan demikian, aparat penyelenggara pemerintahan haruslah bertindak bersih agar dapat dipercaya oleh rakyat dalam mengemban amanat rakyat mewujudkan kesejahteraan bersama. Lebih lanjut tentang kepercayaan (trust) akan dibahas dalam materi tersendiri.
Rousseau menempatkan rakyat pada posisi seimbang bahkan “penyebab” munculnya Negara, sebagaimana Thomas Hobbes dan Cicero yang menyebut masyarakat sipil sebagai societas civilis, kemudian berkembanglah wacana civil society oleh Adam Ferguson yang menyebutkan civil society berhubungan dengan masyarakat beradab (civilized society) dengan menggambarkan tahap-tahap sejarah perkembangan masyarakat sejak primitif, masyarakat pertanian hingga masyarakat industri. Pemikiran Ferguson yang terpengaruh revolusi insdustri dan kapitalisme, kemudian mendapat dukungan dari Thomas Paine yang menganggap civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan sebagai antitesis negara. Kemudian, Gramsci, meletakkan civil society pada superstruktur yang berdampingan dengan negara, sebagai penyeimbang kekuatan negara. Menurutnya, civil society merupakan sebuah arena, tempat berbagai ideologi bekerja dan menggunakan hegemoni mereka untuk mencapai konsensus. Civil society (masyarakat sipil) sebagai penyeimbang kekuatan negara, lebih lanjut dikemukakan oleh Alexis de Tocqueville, yang menyatakan bahwa kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Menurutnya, civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang[3]. Pandangan Tocqueville ini memosisikan masyarakat secara otonom dan memiliki kapasitas politik yang memadai untuk kemudian berperanan dalam kekuatan kritis maupun sumber legitimasi kekuasaan. Dimensi keberpihakan kepada kepentingan publik tampak benar dalam pandangan Tocqueville ini, yang kemudian banyak digunakan untuk menjelaskan gerakan sosial yang berporos pada kekuatan masyarakat madani (civil society) yang beroperasi dalam ruang publik (public sphere) yang bebas. Ruang publik (public sphere), sebagai ruang politik yang memungkinkan civil society bergerak bebas, meniscayakan munculnya lembaga-lembaga sosial yang beroperasi berbasis kesukarelaan dan bekerja untuk kepentingan publik dalam rangka mengawal kepentingan publik berhadapan dengan pemerintah, memenuhi apa yang disebut Habermas sebagai deliberasi publik (public deliberation)[4]. Dalam konsepsi kontrak sosial, bekerjanya ruang publik ini sekaligus untuk “menagih” dan menyelamatkan komitmen kontrak sosial pemerintah dengan rakyat. Pemerintah dan rakyat dalam hubungan ini, selanjutnya dapat bersama-sama mengatur kegiatan sosial, ekonomi dan politik untuk menciptakan kohesi dan integrasi sosial untuk mewujudkan kebaikan bersama.***
Kesimpulan
Satu
Relasi Negara dan rakyat berjalan menurut perjanjian sosial (kontrak sosial) sebagaimana dikemukakan Rousseau, yang mengikat mereka yang diberi mandat atau kekuasaan (pemerintah) untuk menjalankan amanat kebaikan bersama, dan mereka yang memberi mandat (rakyat).
Dua
Masyarakat (civil society) merupakan kekuatan politik sebagai penyeimbang dan pengontrol bagi kekuatan Negara yang memiliki dominasi dan legitimasi politik agar tercapai tertib politik dan keseimbangan politik (political equilibrium).
Tiga
Relasi Negara dan rakyat ini memunculkan pemerintahan, yang kemudian bekerja dengan menyelenggarakan administrasi dan pelayanan publik. Maka, pelayanan publik yang baik akan muncul dari pemerintahan yang baik, dan pemerintahan yang baik muncul apabila terdapat kontrol sosial yang kuat oleh masyarakat (civil society) terhadap negara.
Empat
Masyarakat sipil (civil society) sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan negara, relasi negara – rakyat, dalam konteks penyelengaraan kebijakan publik, memerlukan ruang publik (public sphere) dalam melakukan aktivitas sosial dan politik untuk mengawal kebijakan publik yang dilakukan pemerintah agar selaras dengan “misi bersama” rakyat. Inilah instrumen pengawal kebijakan dan pelayanan publik yang berintegritas.
Budaya Lokal dan Relasi Politik Aktor
Hubungan sosial antar individu dalam masyarakat maupun antara anggota masyarakat dengan Negara menentukan relasi Negara dan rakyat (materi 1). Relasi tersebut bisa berjalan seimbang, tidak mengintervensi, bisa pula salah satu pihak mendominasi dan mengintervensi yang lain. Proses hubungan sosial tersebut, baik antar anggota masyarakat maupun antara anggota masyarakat dengan Negara, dalam konteks local merujuk pada proses politik di aras lokal karena pada hakikatnya setiap kegiatan politik berikut aspek pelayanan publiknya terjadi pada level lokal. All politics is local, begitu kata Tip O’ Neil[5]. Dan dalam konteks pemerintahan dan politik lokal, setidaknya ada tiga alasan untuk melakukan politik lokal, yaitu pertama, tata kelola pemerintahan modern yang semakin kompleks; kedua, bentuk demokrasi modern yang lebih menuntut keterlibatan atau pelibatan, yang mengandaikan keterbukaan yang lebih besar kepada kekhasan lokal; dan ketiga, politik lokal memungkinkan terekspresinya dimensi kepercayaan, empati dan modal sosial dalam seluruh proses penyelenggaraan negara[6].
Dalam konteks lokal, hubungan sosial antar warga menunjukkan fenomena sosial yang dapat dipahami sebagai jaringan sosial, struktur kekerabatan, kultur, dan nilai-nilai lokal (local wisdom), dengan menampakkan wajah yang plural dan kekhasan karakter lokal. Keragaman nilai-nilai kearifan dan budaya lokal dalam kaitannya dengan aktor lokal dalam bahasan ini, dalam kehidupan politik dan kajian hubungan Negara dan rakyat dalam konteks pelayanan publik, secara umum memiliki korelasi dengan nilai-nilai demokrasi universal, ketika nilai-nilai budaya lokal tersebut merupakan perekat sosial yang menghubungkan antar warga masyarakat atas dasar kepentingan bersama. Pendekatan budaya, menurut Siti Zuhro sangat menonjol di era 1940 dan 1950 untuk mengkaji dan memahami masyarakat, menganalisis perbedaan di antara mereka dan menjelaskan perkembangan politik dan ekonomi mereka. Dia mencatat, tak sedikit ilmuwan sosial yang melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan budaya, seperti Gabriel Almond, Sydney Verba, Lucian W. Pye dan Martin Lipset [7]. Dan dalam perkembangannya, tidak sedikit pula ilmuwan sosial yang mulai melihat kembali faktor-faktor budaya untuk menjelaskan modernisasi, demokratisasi politik dan perilaku kelompok etnis di beberapa Negara. Beberapa nama yang ikut mengedepankan kembali pentingnya kajian budaya adalah Robert Putnam, Seymour Martin Lipset, Francis Fukuyama, Robert Kaplan, dan Samuel P. Huntington [8]. Mereka melihat budaya sebagai pengaruh utama, –walaupun bukan satu-satunya— terhadap perilaku sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Cliffort Geertz [9], kebudayaan adalah seluruh cara hidup dari sebuah masyarakat yang berkaitan dengan nilai, praktik, symbol, lembaga dan hubungan antar manusia, sedangkan menurut Samuel Huntington[10], kebudayaan berarti nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Budaya merupakan jalan kepercayaan. Fakta bahwa sebuah masyarakat yang secara historis Protestan, Ortodoks, Islam, Konghucu memunculkan wilayah-wilayah budaya dengan system nilai yang sangat berbeda dan relatif terus bertahan. Konsep-konsep tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa budaya pada dasarnya mengandung nilai-nilai, cara pandang yang dinamis dan tidak statis, yang cenderung mengalami perubahan dari masa ke masa[11].
Dalam bidang politik dan pemerintahan, kajian budaya lokal yang membingkai hubungan sosial masyarakat dengan pemerintah lokal penyedia pelayanan publik turut pula memengaruhi hubungannya dengan pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik. Sebagai contoh, masyarakat Jawa Timur yang cenderung egaliter, plural dan terbuka akan membawa corak yang berbeda dalam hubungannya dengan pemerintahannya jika dibandingkan dengan masyarakat Yogyakarta yang cenderung patriarchal. Orang Jawa Timur dengan ringan memprotes pelayanan pemerintahnya jika merasa dirugikan dan dilakukan dengan spontan bahkan di telinga orang luar Jawa Timur akan terasa kasar. Namun di balik “kekasaran” masyarakatnya yang terlahir dari implementasi nilai budaya lokalnya, patut untuk ditelusuri lebih lanjut, apakah hal ini kongruen dengan bangunan integritas dalam pelayanan publik ataukah sebaliknya.***
bersambung…
___________________
Kearifan dan Budaya Lokal (Local Wisdom): Integritas ala Indonesia
Educating ASEAN Societies in Building Integrity
e-Book lengkap Building Integrity >> back to HOME: Modal Sosial Dalam Pelayanan Publik Berintegritas