Artikel Pendahuluan:
TEORI KRITIS:
Jembatan Emas Menuju Pemahaman Realitas Sosial Kontemporer
Diberi judul seperti di atas karena kontribusi besar Teori Kritis pada kritik atas pemikiran deterministik pada teori Marxis (determinisme ekonomi) dalam memahami realitas sosial yang cenderung positivistik yang memandang realitas sosial berjalan sebagai proses alamiah, gejala sosial ditimbulkan oleh gejala sosial yang lain secara searah. Padahal pemahaman terhadap realitas sosial tidak dapat dilakukan secara deterministik tunggal (ekonomi) saja; dan seperti dikatakan Ritzer, berparadigma ganda. Teori Kritis –dengan pemikiran dialektikanya-, berupaya membongkar tradisi pemikiran deterministik dan meletakkan dasar pemikiran revolusioner pada pemikiran-pemikiran baru, untuk lebih mampu memahami realitas sosial kontemporer (masa kini) secara lebih akurat. (WK).
Teori Kritis, adalah produk sekelompok pemikir neo-Marxis Jerman (didirikan di Frankfurt, karenanya disebut aliran atau mazhab Frankfurt) yang tidak puas terhadap teori Marxian. Mereka menentang determinisme ekonomi dalam teori Marx, yang dari padanya menjadi titik tolak bagi kritik selanjutnya terhadap positivisme, kritik terhadap masyarakat modern yang disebutnya “didominasi oleh elemen kultural” dan mengalami “penindasan kultural atas individu”, dan kemudian, kritik terhadap kultur. Teori Kritis adalah sebuah gerakan. Yakni gerakan pemikiran baru, untuk menentang determinisme tunggal teori sosial Marxian tadi itu.
Kontribusi besar Teori Kritis adalah, pertama, analisis kebudayaan (fokus pada super-struktur kultural), yang berawal dari penggeseran orientasi pemikiran basis (struktur) ekonomi dari tradisi Marxian ke arah elemen subyektif dan kultural dari kehidupan sosial. Kedua, pendekatan dialektika, yang ditandai dengan pemikiran mengenai “umpan balik” dan interaksi timbal balik secara terus-menerus antara berbagai sektor masyarakat. Pemikiran dialektika ini berfokus pada “totalitas sosial”, dengan argumen bahwa kehidupan sosial tidak memiliki aspek parsial, dan tidak ada fenomena yang terisolasi, sehingga pemahaman terhadapnya harus dikaitkan dengan sejarah secara keseluruhan.
Teori Kritis menentang Teori Marx, yakni terhadap pemikiran determinisme ekonomi Marx yang dianggapnya mekanistis dan kurang lengkap. Menurut Teori Kritis, pemusatan perhatian pada determinan ekonomi seharusnya memperhatikan “kehidupan sosial yang lain” untuk dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat pada realitas sosial. Penentangan tersebut dilandasi pula karena teori Marxian terpengaruh pemikiran positivisme yang cenderung melihat kehidupan sosial sebagai proses alamiah, terjadi secara mekanis, satu variabel (sosial) mempengaruhi variabel lain. Variabel ekonomi mempengaruhi seluruh aspek sosial yang lain. Aliran Kritis ini berpendapat bahwa realitas sosial tidak hanya dipahami melalui determinisme ekonomi saja, tetapi melibatkan elemen-elemen lain dalam kehidupan sosial.
Hal yang paling ditentang oleh Teori Kritis di sini adalah karena positivisme dianggap mengabaikan (peran) aktor (subyek). Atas dasar ini pula teori Kritis juga melakukan kritik terhadap sosiologi karena “keilmiahan” sosiologi sehingga bercorak positivistik. Juga, sosiologi yang terlalu memperhatikan masyarakat sebagai satu kesatuan daripada (interaksi) individu dalam masyarakat, menjadi sasaran kritik pula dari Teori Kritis yang lebih menyukai aktivitas manusia sebagai fokus. Karenanya, Teori Kritis sebagian besar adalah kritik terhadap aspek kehidupan sosial dan intelektual yang menjadi dasar bagi struktur kebudayaan. Tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat. Kelahiran Teori Kritis ini secara tidak langsung adalah atas “jasa” seorang pengikut Marx yang menentang teori Marx, yakni Georg Lukacs, yang membongkar ajaran Marx dengan memunculkan konsep “reifikasi” dan “kesadaran kelas”. Konsep reifikasi Lukacs merujuk pada pengertian bahwa komoditas yang diciptakan manusia (konsepsi Marx) kemudian “menjadi hidup” dan berbalik menguasai manusia.
Aliran Kritis ini percaya bahwa sistem kebudayaan itu bertumpu pada aktor (subyek, manusia). Akan tetapi, manusia tidak lagi berada pada struktur kebudayaannya karena kebudayaan telah mengalami pengorganisasian dan mengalami konstruksi dan terstruktur secara ekonomi dan berbalik menguasai manusia yang menciptakannya (sejalan dengan konsep reifikasi Lukacs). Inilah yang dicemaskan oleh para teoretikus Kritis. Subyek manusia menjadi terancam oleh struktur kebudayaan yang diciptakannya sendiri! Inilah yang terdapat pada masyarakat modern sekarang ini. Masyarakat modern ditandai dengan adanya dominasi oleh elemen kultural (yang tadinya elemen ekonomi, pada teori Marxian yang ditentangnya) atau “penindasan kultural atas individu dalam masyarakat”. Penindasan kultural atas individu ini terjadi pada elemen-elemen kehidupan sosial yang menjangkau relung-relung sosial hingga ke wilayah gaya hidup, pemikiran, penggunaan alat-alat dan apa yang disebut “(produk) teknologi modern”. Menurut pandangan teori Kritis, penindasan kultural dalam masyarakat modern (menggantikan dominasi ekonomi) dihasilkan oleh rasionalitas. Kemudian, dominasi dan penindasan kultural menghasilkan irasionalitas; sehingga muncullah “irrasionalitas di dalam rasionalitas” (ciri masyarakat modern!). Inilah yang menjadi perhatian Teori Kritis pada konteks analisis kebudayaan masyarakat modern, dengan elemen “rasionalitas dan teknologi modern”, yang berperan penting sebagai “metode pengendalian eksternal” terhadap individu! Teknologi modern (produk kebudayaan) telah menguasai rakyat! Ia tampak “netral” ketika diciptakan tetapi kemudian ia menjelma menjadialat bantu efektif penindas individu! Seperti yang diyakini oleh Herbert Marcuse (salah seorang tokoh Teori Kritis, selain Max Horkheimer dan Theodore Adorno) bahwa teknologi tidaklah netral. Ia sebenarnya memperbudak, dan membantu menindas manusia! Kebebasan batin aktor (individu) dilanggar dan dikurangi oleh teknologi modern, sehingga memunculkan apa yang disebut Marcuse sebagai “masyarakat berdimensi tunggal”, yakni ketika individu telah kehilangan kontrol atas pikiran kritis dan masyarakatnya. Di sinilah munculnya apa yang disebut (dan dikritik keras) oleh para teoretisi Kritis sebagai “industri kultur”, yang bisa dibentuk, diatur, dimaterialkan, distrukturkan, dikonstruksikan, didefinisikan. Pelaku pengendali dari “sistem kultural baru” ini bisa jadi adalah elit baik individual maupun korporasi, menggunakan instrumen “produk kebudayaan” juga seperti media massa, berpadu dengan kekuatan kultural, sosial, politik dan ekonomi. Di titik inilah yang dikawatirkan dan dikritik keras oleh teoretisi Kritis sebagai “kultur yang diatur, tak spontan, dan palsu”, atau yang dikenal dengan “kultur massal” atau pop culture.
Kontribusi besar kedua dari Teori Kritis setelah analisis budaya, adalah pendekatan dialektika, yaitu pemikiran yang bertumpu pada interelasi berbagai level realitas sosial (kesadaran individu, superstruktur kultural, struktur ekonomi) yang berjalan secara timbal balik. Dialektika adalah rumusan metodologis untuk memahami realitas sosial, yang melibatkan elemen pengetahuan dan kepentingan, seperti yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Namun, Teori Kritis gagal untuk mengintegrasikan teori dan praktik, karena ia sejak kelahirannya terdorong oleh kritik atas keterbatasan teori sebelumnya (Marxian), dan dianggap ahistori serta sempat disebut oleh Greisman sebagai “paradigma yang gagal”. Akan tetapi, Teori Kritis telah berjasa besar dalam pembongkaran pemikiran determinis dalam tradisi Marxian yang tidak relevan dengan konteks kekinian. Teori Kritis (terutama pelestarian pemikiran dialektika warisan Marx-Hegel) juga menjadi landasan pacu bagi pertumbuhan pemikiran kritis selanjutnya dalam pemahaman realitas sosial kontemporer yang tidak linier, kompleks, penuh kejutan dan full variasi.***
Wah.. jika Theodore Adorno ngobrol kayak gini sama Max Horkheimer….. 😀