Strategi Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilu

Strategi Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilu

Wawan E. Kuswandoro

Disampaikan pada Seminar “Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Umum 2014”, diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Kediri, di Hotel Grand Surya, Kediri, tanggal 26 Oktober 2013.

 

Seminar KPUPartisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilu

Secara sederhana, partisipasi politik dapat dipahami sebagai aktivitas warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan politik, dan partisipasi ini bersifat sukarela, tanpa dimobilisasi oleh negara maupun partai yang berkuasa[1]. Tetapi kemudian diperluas, terutama pada bagian “tanpa mobilisasi”, bahwa partisipasi yang “dipaksa” (dimobilisasi) pun termasuk dalam kajian partisipasi[2]. Sedangkan cara berpartisipasi politik, meliputi partisipasi konvesional seperti ikut dalam kegiatan kampanye dan pemilu, dan partisipasi non-konvensional, yakni partisipasi yang mengikuti kemunculan “gerakan sosial baru” seperti gerakan feminis, protes mahasiswa dsb. Namun dalam tulisan ini, cara dan bentuk partisipasi yang dimaksudkan adalah keterlibatan warga negara dalam kegiatan pemilihan umum atau secara khusus, partisipasi pemilih yakni keikutsertaan masyarakat sebagai pemilih (memberikan suara).

[Baca pula: Menelisik Lini Krusial Pendidikan Politik]

Partisipasi politik dalam tulisan ini lebih mengarah kepada pengertian “keikutsertaan dalam pemilu” yakni dengan “memberikan suara dalam pemilihan umum”, atau yang dalam pengertian teknis pemilihan umum adalah “datang ke TPS dan memberikan suara”. Dalam konteks pemahaman ini, dikenal beberapa kategori pemilih dalam pemilihan umum:

  • Pemilih yang datang ke TPS dan memberikan suaranya secara sah.
  • Pemilih yang datang ke TPS dan memberikan suaranya secara tidak sah.
  • Pemilih yang tidak datang ke TPS.

 

Pada pemilih yang “datang ke TPS dan memberikan suaranya secara tidak sah”, terdapat beberapa kondisi, antara lain ketidaksengajaan karena ketidaktahuan sehingga suara yang diberikannya tidak sah seperti mencoblos secara tidak benar, dsb dan ada pula unsur kesengajaan. Dan pada “pemilih yang tidak datang ke TPS” dalam catatan penulis selama mengamati proses pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, terdapat beberapa kondisi antara lain, pemilih yang tidak datang ke TPS karena malas datang ke TPS, tempat tinggalnya jauh dari TPS sehingga enggan datang, bepergian, lebih memilih bekerja atau mencari uang daripada ke TPS dan berbagai alasan yang berkaitan dengan kemalasan datang, juga ada yang karena namanya tidak terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap). Kondisi kedua dan ketiga ini yang kemudian dikenal di masyarakat dengan sebutan “golput”, walaupun istilah “golput” itu sendiri tidak dikenal di perundang-undangan dan terminologi teknis pemilu.

Dari data empiris penyelenggaraan pemilu secara nasional, terdapat fakta menarik, bahwa terjadi penurunan partisipasi pemilih dari pemilu 1999, 2004, dan 2009. Dari data Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada pemilu 1999 angka partisipasi pemilih sebesar 91,99%, pada 2004 sebesar 84,07% dan 2009 sebesar 70,99%. Sedangkan suara tidak sah, dari catatan Perludem, terjadi kenaikan dari pemilu 1999, 2004 dan 2009 yakni 3,33%, 9,66% dan 14,43%. Dan pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya, meningkat dari pemilu 1999, 2004 dan 2009, yakni 7,01%, 15,93%, 29,01%. Di Jawa Timur, angka partisipasi pemilih pada pemilu gubernur juga mengalami penurunan. Dari data Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), partisipasi pemilih pada pilgub Jatim 2013 sebesar 59,84% (pemilih yang tidak menggunakan haknya sebesar 40,16%), sedangkan pada 2008 sebesar 62%. Tren ini bisa saja berlanjut pada pemilu 2014. Di kabupaten/ kota, pada penyelenggaraan pemilu baik pemilu nasional (pileg, pilpres, DPD), maupun pemilu kepala daerah juga menunjukkan fluktuasi partisipasi pemilih yang beragam. Kecenderungan turunnya partisipasi pemilih di beberapa daerah juga perlu dicermati dan dicarikan solusinya. Perhatian pada peningkatan partisipasi pemilih pada pemilu, bermanfaat bagi daerah yang memilih tren turun maupun stabil atau naik.

 

Menelusuri Motivasi Partisipasi Pemilih pada Pemilu

Partisipasi pemilih merupakan bagian dari partisipasi politik, dapat dipahami dengan pendekatan perilaku politik (political behaviour). Menurut Ramlan Surbakti[3], perilaku politik dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni:

  • Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa.
  • Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian seseorang, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan (pengaruh).
  • Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.

 

Terkait lingkungan sosial politik baik langsung maupun tak langsung (faktor eksternal), penulis mencatat faktor-faktor internal yang ditelusuri dari konsep motivasi tindakan politik dan pilihan rasional (rational choice) yang beroperasi di wilayah perilaku politik masyarakat. Motivasi tindakan dan pilihan rasional ini berkaitan dengan persepsi atas “subjek pelaku kedua” dalam konteks pemilihan (apa yang dipersepsi dan akan dipilih), kepentingan (interest) dari si pemilih dan harapan pemilih terhadap “nilai kebaikan” yang dipersepsi (tujuan pemilu dalam persepsi pemilih). Subjek pelaku kedua, adalah “siapa yang akan dipilih” (partai politik, kandidat), sedangkan “subjek pelaku pertama” adalah si pemilih itu sendiri. Adapun, “nilai kebaikan” adalah sesuatu tujuan dari tindakan politik yang dipersepsi oleh pemilih, yang dalam konteks pemilu adalah tujuan pemilu itu sendiri. Artinya, seseorang bisa saja memutuskan atau termotivasi untuk “ikut memilih” atau “tidak ikut memilih” (kemudian disebut “golput”) tergantung dari 3 hal tadi:

  • Persepsi pemilih terhadap “apa yang akan dipilih”.
  • Kepentingan pemilih, artinya, pemilih merasa kepentingannya terpenuhi atau tidak jika ikut pemilu.
  • Pengharapan (ekspektasi) pemilih akan “nilai kebaikan” dari tujuan (ikut) pemilu. Proposisi ini didasari oleh asumsi bahwa pemilih (masyarakat) pada dasarnya menginginkan kondisi masyarakat yang lebih baik, termasuk dari keterlibatannya dalam aktivitas sosial maupun politik.

 

Ketiga poin tersebut juga erat kaitannya dengan pemahaman dan pengetahuan pemilih terhadap isu pemilu dan yang disangkutpautkannya dengan kepentingan dirinya. Dari studi yang penulis lakukan di Malang (2013) untuk mengeksplorasi perilaku pemilih di wilayah pedesaan Kabupaten Malang, dari pengalaman warga desa di 11 kecamatan di Kabupaten Malang pada penyelenggaraan pemilu legislatif 2009, pemilu gubernur  2013 dan persepsinya untuk pemilu 2014, pada area penelitian diperoleh data bahwa partisipasi pemilih yang merentang pada kisaran 60%, pertama, masyarakat merasa tidak terlalu memiliki ikatan sosial dengan partai politik, yang pada lini ini, mereka menisbikan urusan politik (termasuk kepemiluan) dengan kepentingan pribadinya yang dalam banyak hal dengan ukuran pragmatis, sehingga, kedua, masyarakat menilai eksistensi partai politik dan atribut politik yang melekat pada partai, dengan tindakan dan kemanfaatan konkret yang mereka rasakan, yang kemudian mengeras menjadi, ketiga, masyarakat lebih memperhatikan aktor individual (figur calon) daripada aktor institusi (partai politik)[4]. Memang perlu penelitian lebih lanjut untuk menjawab persoalan merentangnya jarak politik antara partai politik dan masyarakat dan persepsi eksistensi partai politik di masyarakat, namun dari studi ini dapat diketahui bahwa sedang terjadi “pen-jarak-an” (distansi) antara institusi partai politik peserta pemilu dan masyarakat. Dari studi ini diketahui bahwa masyarakat  menilai keberadaan aktor politik (partai politik/ personal) dari persepsi kemanfaatan bagi masyarakat dan ini seringkali dimaknai kemanfaatan praktis. Kondisi ini mempengaruhi pola mobilisasi oleh partai untuk tujuan elektoralnya (diperlukan dalam menelusuri solusi partisipasi dari aspek peran aktor politik). Dan dari sisi pemilih (masyarakat), ini berarti gejala “alienasi” (keterasingan) atau menjauhnya masyarakat dari esensi pemilu. Dan dari perspektif partisipasi pemilih, kondisi ini berpotensi menambah apatisme masyarakat pada isu pemilu.

Ketertarikan pemilih pada “agenda aktor politik” atau kemanfaatan bagi pemilih semakin menguat dalam pengalaman masyarakat pemilih pada pemilu kepala daerah langsung. Penelitian tentang motivasi dan perilaku pemilih yang penulis lakukan di Kota Malang pada konteks pemilihan Walikota Malang 2013, sejak 2011, 2012 dan 2013 menunjukkan ketertarikan pemilih agenda atau program konkret dari calon, yang kemudian, masyarakat lebih mengenal figur calon (personal) ketimbang partainya[5]. Yang menarik, gejala bergesernya perhatian dan ketertarikan pemilih pada aktor personal dan bukan aktor institusi (partai politik) juga terjadi pada pemilu legislatif yang mana peserta pemilunya adalah partai politik, bukan personal/ perorangan (caleg). Penelitian penulis pada konteks pemilu legislatif 2014 dengan mengambil area penelitian Kabupaten Malang (2013), dengan metode kuantitatif (survey), pemilih juga lebih memperhatikan aktor personal (figur caleg) daripada partai politik, dan pemilih lebih tertarik pada program calon daripada performa (tampilan), janji kampanye, dan media / alat peraga peserta pemilu. Dengan pendekatan kualitatif, juga memperlihatkan gejala yang senada, namun diperoleh data lebih mendalam dari pengalaman pemilih, yakni, pemilih lebih tertarik pada aspek pragmatis dari  aktivitas elektoral peserta pemilu (perorangan, bukan partai) yang dapat memberi nilai tambah pragmatis bagi mereka. Dari penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilih akan memilih untuk ikut pemilu (mencoblos) jika ada kemanfaatan secara nyata bagi mereka. Uniknya, gejala ini lekat bagai dua sisi mata uang, dengan perilaku-cenderung-golput pada pemilih ini jika aktivitas elektoral peserta pemilu (lagi-lagi yang diperhatikan adalah “orangnya”)  tidak memberi nilai tambah pragmatis bagi mereka. Hubungan pemilih seperti ini dengan peserta bercorak transaksional.

Pada pemilih yang tidak memberikan suaranya (kemudian disebut “golput”), terdapat beberapa jenis, yakni, pertama, “golput” ideologis atau politis, yakni mereka yang dengan sengaja memilih untuk tidak memilih dengan alasan tidak ada gunanya ikut pemilu. Golongan ini menganggap pemilu tidak penting, dan urusan politik kenegaraan juga tidak penting karena dianggap penuh tipu-tipu dan koruptif. Golongan ini cenderung membenci politik, politikus dan hal-hal yang berhubungan dengan politik dan pemilu. Perilaku golput jenis ini dapat juga dipicu oleh ketidakpercayaan (distrust) terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara. Golongan ini biasanya berada pada golongan menengah ke atas dan kaum intelektual. Kedua, “golput” teknis yakni mereka yang golput karena faktor dan kendala teknis seperti tidak dapat menjangkau TPS, bepergian, malas berangkat, dan tidak terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap). Pada golput jenis pertama, sulit untuk dipengaruhi. Treatment pada golput jenis ini memerlukan waktu yang lama dan edukasi yang kompleks. Pada golput jenis kedua, lebih mudah. Namun, disamping treatment jangka pendek untuk  sekedar “mengembalikan para “golputers” ini kembali ke jalan pemilu” diperlukan strategi berjangka panjang untuk –secara lebih permanen- memberikan pendidikan pemilih agar pemilih lebih termotivasi untuk ikut pemilu atau, meningkatkan partisipasi pemilih.

 

Strategi Meningkatkan Partisipasi Pemilih

Upaya meningkatkan partisipasi pemilih, menurut  penulis, secara operasional dapat ditelusuri dari beberapa kondisi di sekitar “golput” dan memadukannya untuk mencari titik temu secara operasional, yaitu:

  • Kondisi yang menjadi masalah / penyebab kurangnya atau rendahnya partisipasi pemilih.
  • Lini partisipasi pada segmentasi pemilih rentan : pemilih pemula, swing voters, pemilih usia lanjut, mereka yang kurang akses informasi, kaum “golput”.
  • Stakeholders aktif, yakni “siapa yang berkepentingan dengan partisipasi pemilih”.

Ketiga variabel di atas perlu ditelusuri sambil mengenali secara tepat:

  1. Karakter pemilih.
  2. Nilai-nilai budaya lokal.
  3. Mendekatkan pemilih pada isu kemanfaatan pemilu.

Ketiganya dimaksudkan agar terbentuk konstruksi berpikir pada masyarakat bahwa pemeranannya dengan ikut pemilu secara aktif (sebagai pemilih) adalah memang kepentingan dan kebutuhannya (bukan sekedar hak atau wajib).

Implikasi pendekatan ini adalah bahwa isu politik adalah urusan rakyat, dan menu politik adalah menu sarapan pagi bersama kopi hangat. Bagaimana mengoperasikan gagasan ini?

 

Pertama, mencari penyebab kurang/ rendahnya partisipasi. Dari penelitian penulis di atas, beberapa faktor di sekitar rendahnya apresiasi terhadap pemilu yang kemudian merembes kepada menjauhnya dari urusan pemilu, adalah, pragmatisme masyarakat yang kemudian mengukur aktivitas  pemilu dan aktivitas elektoral peserta pemilu dari sudut pandang kepentingan mereka (yang kerap bernilai pragmatis).

Kedua, bertolak dari rendahnya apresiasi terhadap pemilu. Ini adalah persepsi negatif pemilih terhadap “apa dan siapa yang akan dipilih”.

Ketiga, mendekatkan jarak politik dan ikatan sosial pemilih dengan peserta pemilu. Faktor informasi (misalnya kelangkaan informasi tentang pemilu) tidak serta merta menjauhkan masyarakat dari keputusannya untuk ikut pemilu, namun berada pada dataran pemahaman materi pemilu saja. Dari sisi partisipasi pemilu, tidak mengkhawatirkan, justru dari sisi kepentingan peserta pemilu yang mengkhawatirkan, karena kelangkaan informasi pemilu bisa membiaskan pemilih seperti salah pilih dsb.

Ketiga point di atas sekaligus bisa mengikis persepsi publik terhadap isu pemilu (bagian dari isu politik), bahwa urusan pemilu yang dipersepsi sebagai urusan elit (bukan urusan rakyat) menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Sayangnya, isu politik masih dianggap “horor”, sulit, tidak terjangkau, tingkat tinggi, penuh tipu-tipu. Dan itu urusan elit. Nah. Mengubah persepsi ini yang semestinya menjadi isu utama pendidikan politik dan pendidikan pemilih.

Jika rakyat merasa urusannya terpenuhi dengan aktivitas kepemiluan, maka merasa dekat dengan pemilu dan bersedia ikut pemilu. Pada kondisi ini, treatment yang dapat dilakukan adalah mendekatkan isu pemilu menjadi dekat dengan urusan dan kepentingan rakyat.

Bagaimana caranya?

  1. Pendidikan politik. Yang perlu dilakukan adalah bukan sekedar mengajak masyarakat untuk menjadi “partisan pemilu” atau pendukung pemilu, layaknya pendekatan “salesmanship”, namun bergerak di wilayah “generik” kemanfaatan pragmatis bagi masyarakat melalui upaya politik. Kesesatan pikir yang terjangkit di masyarakat awam terhadap isu politik sepertinya harus dikikis dengan pendekatan pendidikan politik progresif, sehingga konstruksi berpikir masyarakat tidak lagi memandang politik identik dengan rebutan kursi, jegal kawan dan kegaduhan dengan minim kerja dan semacamnya, tetapi benar-benar merupakan mekanisme yang harus dilalui untuk membawakan urusan rakyat pada jalur operasional (pemerintahan). Peran ini dapat diambil oleh partai politik beserta jaringan kerjanya, juga unsur non-partai, untuk membangun dan mendekatkan kembali ikatan sosialnya (juga emosional) dengan masyarakat pemilih. Sejalan dengan pemikiran ini, institusi demokrasi yang lain semacam KPU, civil society juga bisa ambil peran. Menurut pemikiran ini, pendidikan politik harus dilakukan sepanjang tahun. Partai politik peserta pemilu harus memiliki ruang untuk beroperasi di wilayah pendidikan politik yang sehat sepanjang tahun juga. Pendidikan politik ini, walaupun beda tipis dengan “kampanye politik”, tetap harus dipilahkan secara tegas dengan kampanye pemilu yang membuat partai merasa berkepentingan mendatangi masyarakat jika dekat dengan musim pemilu saja. Ruang luas bagi pendidikan dan kampanye politik akan membuat partai mendekatkan diri dengan masyarakat setiap saat.
  2. Lini partisipasi pada segmentasi pemilih rentan seperti pemilih pemula, swing voters, pemilih usia lanjut, mereka yang kurang akses informasi yang berpotensi golput. Kelompok ini merupakan pemilih potensial “pendukung barisan pro-pemilu” jika mereka mendapatkan edukasi yang memadai.
  3. Stakeholders aktif, yakni “siapa yang berkepentingan dengan partisipasi pemilih”, berkaitan dengan variabel satu dan dua, yakni aktor yang paling berpeluang memobilisasi massa pemilih. Bahkan secara pragmatis pun, “penggarapan” terhadap “swing voters” mampu mendongkrak perolehan suara kandidat / peserta pemilu secara signifikan[6]. Artinya, dari sisi praktis pun mampu “mengembalikan” “pemilih bergerak” atau massa mengambang (floating mass) menjadi pemilih partisan. Dalam konteks ini, partai politik dapat menggunakan jejaring-kerjanya termasuk elemen non-partai untuk memobilisasi massa pemilihnya. Dalam mengoperasionalkan gagasan dari ketiga variabel tersebut, memerlukan peran dan fungsi dari institusi-institusi demokrasi (KPU, partai politik, civil society, media massa) dan pemerintah.

Ketiga upaya tersebut memerlukan modal awal berupa pemahaman terhadap stratifikasi sosial berikut karakter dan budaya masyarakatnya, untuk bisa memahami dengan tepat dalam perspektif masyarakat.

Kesimpulan

Partisipasi pemilih terkait dengan motivasi sosial dan ideologis pemilih berpadu dengan pilihan rasional dan kepentingan pemilih serta persepsi kedekatan anasir elektoral pada kepentingan pemilih. Strategi peningkatan partisipasi pemilih masyarakat terletak pada upaya merekonstruksi atau bahkan mendekonstruksi persepsi kepentingan anasir elektoral agar tidak hanya berputar di wilayah elit dan “jauh dari jangkauan masyarakat”, tetapi berada di wilayah masyarakat, sehingga isu politik tidak lagi dipersepsi sebagai “urusan elit” “mereka”, tetapi urusan rakyat. Rekonstruksi ini yang menjelma ke dataran operasional pendidikan politik yang progresif oleh stakeholders pemilu. Upaya ini memerlukan modal berupa pemahaman terhadap stratifikasi sosial berikut karakter dan budaya masyarakatnya, untuk bisa memahami dengan tepat dalam perspektif masyarakat. Kutahu yang kau mau.***
 

Daftar Pustaka

Deth, Jan W. Van. 2008. Political Participation, dalam “Lynda Lee Kaid dan Kristina Holtz-Bacha, Encyclopaedia of Political Communication, Sage Publication.

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson. 2008. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta.

Kuswandoro, Wawan E. 2013. Motivasi dan Perilaku Pemilih pada Pemilukada: Pengalaman Kota Malang dan Kota Probolinggo pada Pemilukada 2013, artikel.

—————————————. Kuswandoro, Wawan E. 2013. Perilaku Pemilih Pedesaan dan Modal Sosial Politik Elektoral Non-Partai Politik pada Pemilu Legislatif 2014.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, PT. Grasindo, Jakarta.

______________________________
Bacaan Lain:
Social Entrepreneur. Mungkinkah Partai Politik Menjalankannya untuk membangun basis massa? Dan masih perlukah membangun basis massa di era ini? Sumberdaya partai, lebih efektif digunakan untuk ‘membangun basis massa riil’ ataukah ‘membangun basis massa maya’? Imagined basis massa?

Bekerja Dengan Hati n Pikiran Positif - FULL