Pelayanan Publik Berbasis Kebutuhan Masyarakat

MENATA PELAYANAN PUBLIK BERBASIS KEBUTUHAN MASYARAKAT[1]

 Wawan E. Kuswandoro[2]

 

Analisis Konteks

13Otonomi daerah yang bermakna kewenangan daerah dalam hal pengelolaan rumahtangga daerahnya, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah harus diatur oleh pemerintah daerah dan DPRD. DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah diharapkan mampu mengawal terselenggaranya otonomi daerah sejalan dan mengarah pada tercapainya tujuan pemberian otonomi tersebut.

Fokus utama kebijakan publik dalam Negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak (Wikipedia, 2008). Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi.

Dari perspektif masyarakat, hal penting dari pelayanan publik adalah adalah adanya suatu standar pelayanan public yang jelas: apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannya, dan bagaimana bentuk pelayanan itu.

wan workshop pendamping PKH (kemiskinan)Agar kebijakan tersebut terwujud secara efektif, maka diperlukan setidaknya 3 hal:

 

  1. Adanya perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) sehingga produk keputusan dapat diketahui publik.
  2. Struktur pelaksana dan pembiayaan yang jelas.
  3. Kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan public mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak (Wikipedia, 2008).

Perubahan global ini telah mengubah lingkungan dimana pemerintahan beroperasi, menantang peran tradisional negara, dan memperkenalkan aktor-aktor baru pada proses pembangunan dan kepemerintahan (governance). Transformasi global ini juga menuntut reformulasi peran dan tanggung jawab para pegawai negeri sebagai pengelola sumber-sumber publik dan penjaga mandat kepercayaan masyarakat. Eskalasi perubahan global ini juga telah menimbulkan isu-isu moral seperti penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, crony capitalism, “sweatheart deal” privatization, dan perilaku pemerintah yang tidak profesional dan etis lainnya (UNDESA, 2000).

IMG-20161025-WA0023Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik

Sebagai bagian dari respon terhadap tantangan global di atas, telah terjadi pergeseran paradigma dalam pelayanan publik.

  1. Dari problems-based services ke rights-based services. Pelayanan sosial yang dahulunya diberikan sekadar untuk merespon masalah atau kebutuhan masyarakat, kini diselenggarakan guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi nasional dan konvensi internasional.
  2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches. Pendekatan pelayanan publik cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan normatif menjadi pendekatan yang berorientasi kepada hasil. Akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi menjadi kata kunci yang semakin penting.
  3. Dari public management ke public governance. Menurut Bovaird dan Loffler (2003), dalam konsep manajemen publik, masyarakat dianggap sebagai klien, pelanggan atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari market contract. Sedangkan dalam konsep kepemerintahan publik, masyarakat dipandang sebagai warga negara yang merupakan bagian dari social contract.

IMG_7107Ruang Lingkup (Menata) Pelayanan Publik

Dasar:

  1. UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
  2. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
  3. UU No.31 Tahun 1999 j.o. UU No.20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  4. PP No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPK.
  5. Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
  6. SK Men PAN No:63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
  7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:SE/10/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas Peningkatan Pelayanan Publik.

Pelayanan publik menurut Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No: 63/Kep/M.PAN/7/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara layanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima layanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menteri Pendayagunaan Aparat Negara dalam Keputusan No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menyatakan bahwa “Hakikat layanan publik adalah pemberian layanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat”.

IMG_7106Pernyataan ini menegaskan bahwa pemerintah melalui instansi-instansi penyedia layanan publiknya bertanggung jawab memberikan layanan prima kepada masyarakat. Pernyataan layanan prima perlu digarisbawahi karena ini menyangkut standar kualitas layanan yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan publik haruslah berkategori “prima”. Karena pada dasarnya masyarakat adalah warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Dengan demikian kata “prima” ini haruslah menjadi misi yang akan menjiwai setiap unit layanan publik.

Konsekuensinya, apabila kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat dirasakan tidak prima, maka pada dasarnya penyedia layanan publik dianggap tidak mempunyai kinerja.

Kata ‘publik’ itu sendiri secara garis besar dapat digolongkan dalam dua bentuk:

  1. Publik yang berada di wilayah ekstern, yaitu publik di luar lembaga, organisasi, instansi, perusahaan yang memiliki kepentingan dengan lembaga tersebut.
  2. Publik yang berada di wilayah intern, yaitu publik yang berada dalam lingkungan suatu lembaga, organisasi, instansi atau perusahaan. Misalnya seluruh karyawan dalam lembaga tersebut adalah merupakan publik intern dari lembaga tersebut.

20131027_101749Ruang lingkup layanan publik meliputi segala aktivitas layanan untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sebagaimana yang tercantum dalam Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dengan UU No. 11/2005, pada 28 Oktober 2005.

Terminologi layanan publik sekarang ini pun sudah mengalami perluasan makna. Manajemen pelayanan pada sektor publik umumnya dipahami sebagai keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan pemerintah yang secara operasional dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah atau badan-badan hukum lain milik pemerintah (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik: 2007). Layanan publik dimaknai sebagai dua pengertian:

 

  1. Pelayanan oleh negara kepada masyarakat, baik diselenggarakan oleh instansi-instansi

pemerintah maupun badan hukum lain milik pemerintah.

  1. 2.       Pelayanan yang diberikan oleh swasta kepada masyarakat sebagai customer-nya.

 

diskusi politik1Pengertian kedua ini seringkali tidak dikategorikan sebagai layanan publik, tetapi dimaknai sebagai layanan pada sektor swasta. Kepuasan masyarakat atau pengguna layanan publik akan berkorelasi positif dengan derajat pelayanan yang mereka peroleh. Suatu layanan akan dianggap bernilai jika konsumen merasakan kepuasan (Fitzsimmons dan Fitzsimmons: 2006). Tingkat kepuasan ini dipengaruhi oleh 5 variabel, yakni (1) service quality (kualitas pelayanan), (2) product quality (kualitas produk), (3) price (harga), (4) situation (situasi), dan (5) personality (sikap personil pelayanan) (Subroto dan Natalisa: 2004).

Pada dimensi kulitas pelayanan persepsi konsumen terhadap pelayanan terkait dengan lima aspek yang spesifik yaitu: reliability (kemampuan dan keandalan dalam menyediakan layanan publik), responsiveness (kesanggupan untuk membantu dan menyediakan layanan yang cepat, tepat serta tanggap terhadap keinginan masyarakat/pelanggan/konsumen), assurance (kemampuan, keramahan, dan sopan santun dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat/ konsumen/pelanggan), empathy (sikap tegas tetapi ramah dalam memberikan pelayanan), dan tangible (kualitas pelayanan yang terukur secara fisik berupa sarana perkantoran, komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempat informasi), dan lain-lain (Parasuraman. et al. dalam Zeithaml et al., 2006).

 

Asas Pelayanan Publik

 

Pelayanan Publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur-unsur dasar sebagai berikut:

 

  1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik harus jelas dan

diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.

  1. Pengaturan setiap bentuk pelayanan publik harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan

dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada prinsip efektif dan efisien.

  1. Mutu proses penyelenggaraan dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

20131124_093536Praktik pelayanan publik tidak terlepas dari praktek administrasi publik yang diaplikasi di banyak negara. Pelayanan publik merupakan salah satu isu atau tujuan penting dari administrasi public yang meliputi penyelenggaraan public services, public affairs (public interests and public needs), and distribution of public service equally. Konsepsi pelayanan publik berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan, dan dalam hal ini setidaknya ada 3 perspektif administrasi publik yang bisa kita gunakan untuk mengkaji pelayanan publik (Janet Denhardt dan Robert Denhardt, 2007) yakni perspektif 1. Old Public Administration, 2. New Public Management, and 3. New Public Service.

 

Perbandingan tiga perspektif tersebut bisa dilihat pada ilustrasi berikut:

OPA – NPM – NPS

Berdasarkan matriks perkembangan teori diatas, konsep pelayanan publik sudah bergeser dan berkembang sedemikian rupa, sehingga esensi perubahannya sangat signifikan baik dalam tataran substansi maupun teknis.

Sesungguhnya pelayanan publik sebagai bagian dari upaya-upaya mewujudkan good governance, dapat dilihat melalui 3 langkah strategis:

20131124_095906Pertama, interaksi antara Negara (yang diwakili pemerintah) dengan warganya, termasuk berbagai kelompok atau lembaga di luar pemerintah dalam pelayanan publik. Idealnya, interaksi tersebut memaksa pemerintah sebagai penyedia layanan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Perubahan kualitas pelayanan, menjadi lebih baik atau lebih buruk, akan berdampak secara langsung kepada masyarakat dimana kehidupannya sehari-hari tergantung dari apa yang diberikan oleh pemerintah kepada warganya.

Kedua, pelayanan publik merupakan ranah dimana prinsip-prinsip good governance dapat diartikulasikan dengan lebih baik. Sebagai contoh, aspek kelembagaan kualitas pelayanan publik dari prinsip-prinsip good governance adalah bagaimana interaksi antara pemerintah dengan  warga negara atau dengan pasar, yaitu bagaimana keterlibatan aktor di luar pemerintah (non-government actors) dapat memberi masukan, kritik atau respon terhadap bentuk pelayanan yang diberikan. Sementara, nilai-nilai good governance seperti efektifitas, efisiensi, non-diskriminatif, berkeadilan, berdaya tanggap tinggi dan akuntabilitas yang tinggi dapat direalisasikan dalam penyelenggaraaan pelayanan publik. Nilai-nilai tersebut menjadi mudah terlihat dan teraplikasikan pada pelayanan publik dalam kerangka good governance.

WP_20150614_039Ketiga, pelayanan publik melibatkan semua kepentingan yang berada di dalam negara. Pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan terhadap pelayanan public yang lebih baik. Nasib sebuah pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, tergantung dari pelayanan publik yang dibangun. Kepercayaan dan legitimasi kekuasaan mereka berasal dari pengguna layanan publik, yaitu masyarakat. Dalam iklim keterbukaan politik dan system pemilihan pemimpin secara langsung saat ini, masyarakat dapat menentukan pilihan dan dukungan kepada rezim yang mampu atau tidak mampu dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Legitimasi kekuasaan saat ini ditentukan pada keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya secara langsung. Bentuk pelayanan yang buruk menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas sebuah rezim pemerintahan.

Urgensi Pengawasan

Dalam pengertian yang sederhana, pengawasan bermakna proses pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin agar hasil (output and outcomes) sesuai dengan yang diinginkan serta menjamin segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (on the right track).

Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik yang disusun MP3, setidaknya terdapat tiga hal penting untuk setiap sektor layanan yang menunjukkan bahwa layanan publik adil dan berkualitas harus dicapai yakni:

 

1. Penerima layanan (Customer)

WP_20161114_105Layanan publik yang adil dan berkualitas tentu merupakan dambaan masyarakat, sebab, selain harus memenuhi standar minimum sebagaimana telah dirumuskan oleh penyelenggara, juga tidak bertentangan dengan kontrak layanan yang merupakan hukum bagi pemberi dan penerima layanan. Selain itu, pelayanan publik juga harus adil dalam arti pelayanan public agar ia tidak hanya melayani orang yang “mampu membayar” saja, tetapi juga melayani orang yang “tidak mampu membayar” dan kurang beruntung (dalam hal ini dikategorikan dalam kelompok khusus). Sebab, pada prinsipnya layanan publik terutama yang berkaitan dengan hak-hak dasar, merupakan hak publik di satu sisi dan kewajiban negara di sisi lain.

 

2. Penyedia layanan (Provider)

Layanan publik yang diberikan secara adil dan berkualitas mestinya menjadi fokus utama para penyedia layanan. Layanan yang prima tersebut tentu saja akan menaikkan citra dan kapabilitasnya sebagai penyedia layanan. Bagi penyelenggara layanan, salah satu factor penting dalam penilaian kinerja setiap unit layanan adalah kepuasan pelanggan atau warga penerima layanan. Kepuasan merupakan wujud dari keberhasilan pemberi layanan.

 

3. Warga masyarakat (Umum)

20130615_142752Prinsip dari layanan atas hak-hak dasar masyarakat menjadi kewajiban bagi negara, maka semua orang tanpa kecuali, berhak mendapatkan layanan tersebut. Hal ini, tentu akan mengurangi kesenjangan sosial dan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Layanan yang adil, memberi kesempatan setiap orang atau warga negara untuk menikmati jenis layanan yang terbaik untuk perbaikan kehidupannya. Sehingga, apabila masyarakat telah mampu mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya maka secara tidak langsung akan memberi kesempatan dalam peningkatan taraf hidupnya di masa depan.

 

Mengapa Menata Pelayanan Publik?

 

–          Menurunnya trust terhadap pemerintah.

–          Anggapan bahwa pemerintah merupakan bagian dari masalah.

–          Tuntutan pelayanan yang lebih bermutu.

–          UU 25 Tahun 2009, pelayanan public merupakan hak (dan kewajiban) warga negara dan tanggungjawab negara dan korporasi  à good public & corporate governance.

Ruang Lingkup Pelayanan Publik

 

  1. Penyelenggara pelayanan public.
  2. Korporasi.
  3. Hak dan kewajiban penyelenggara pelayanan public.
  4. Pengawasan.
  5. Partisipasi masyarakat.
  6. Sanksi (bagi penyelenggara pelayanan public: mulai teguran sampai pemecatan; bagi korporasi: sampai pencabutan ijin).
  7. Good governance, good corporate governance, good public governance.
  8. Pola penyelenggaraan (perspektif masyarakat/ user):

– Responsive

– Informative

– Aksesible

– Koordinasi

– Birokratis

– Respon terhadap keluhan / aspirasi masyarakat.

– Efisiensi

 

  1. Prinsip & tertib penyelenggaraan pelayanan public (perspektif/ harapan masyarakat):

– Kesederhanaan.

– Kejelasan

– Kepastian waktu.

– Akurasi

– Tanggungjawab petugas.

– Keamanan.

– Kelengkapan sarana.

– Kemudahan akses.

– Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan petugas.

– Kenyamanan.

 

  1. SDM: profesionalisme, kompetensi, empati, etika.

 

  1. Standard pelayanan (SOP, SPM):

– Pelayanan satu atap, satu pintu,

– TIK: pengadaan barang & jasa, layanan informasi & pengaduan masyarakat.

– System pelaporan dugaan korupsi/ penyimpangan.

– Standard investigasi.

– Standard perilaku dan disiplin.

– Penanganan keluhan/ pengaduan masyarakat

– System manajemen informasi pelanggan.

– System monitoring dan evaluasi pelayanan public berbasis partisipasi masyarakat.

– Penanganan pengaduan masyarakat:

  1. Terpenuhinya harapan dan kepuasan masyarakat (user): IKM, mekanisme citizen charter, kontrak kinerja, diukur dengan citizen report card, pelayanan pengaduan masyarakat, system informasi (manajemen arsip à institutional memory; dan system informasi).
  2. Pelimpahan sebagian kewenangan “city hall” (kepala daerah) kepada distrik (kecamatan, camat).

 

 

Kerangka Penataan (Framework of Reforms)

  1. Service Excellent: PEOPLE – PROCESS – PRODUCT.
  2. Pelayanan public meliputi sekurang-kurangnya:

–       Pelaksanaan pelayanan.

–       Pengelola pengaduan masyarakat.

–       Pengelolaan informasi.

–       Pengawasan internal.

–       Penyuluhan kepada masyarakat.

–       Pelayanan konsultasi dan interaksi dengan masyarakat.

  1. Standard/ tolok ukur pelayanan public.
  2. Kepuasan masyarakat/ pengguna citizen charter.
  3. Memperjelas hak dan kewajiban penyelenggara, pengawasan, dan partisipasi masyarakat serta sanksi bagi penyelenggara dan korporasi.  Sanksi untuk para penyelenggara pelayanan publik bervariasi, mulai teguran tertulis sampai pemecatan. Sedangkan sanksi terberat untuk korporasi adalah pencabutan perizinan.
  4. Mempertegas pemecahan masalah dalam layanan publik yaitu standar pelayanan publik, maklumat pelayanan publik, sistem informasi, dan penanganan pengaduan (Pengaduan adalah salah satu bentuk partisipasi masyarakat).
  5. Peran masyarakat semakin ditonjolkan dalam merumuskan kebijakan dan kegiatan pelayanan publik dalam menyusun standar pelayanan publik. (UU Pelayanan Publik juga mengikat pemerintah karena kewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan merupakan keharusan).

 

Penataan Pelayanan Publik Menurut UU 25 Tahun 2009

  1. Biaya/ tarif pelayanan public (Pasal 31)

–       Pada dasarnya merupakan tanggungjawab Negara dan atau masyarakat. Biaya yang merupakan tanggungjawab Negara: yang diwajibkan oleh peraturan per-UU-an;

–       Selain yang merupakan tanggungan negara: dibebankan kepada penerima pelayanan public.

  1. Pembina pelayanan public à kepala daerah à bertugas melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi thd pelaksanaan tugas dari penanggungjawab pelayanan publik.
  2. Pembina pelayanan public (kepala daerah) bertugas melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi thd pelaksanaan tugas dari penanggungjawab pelayanan public, dan wajib melaporkan pelaksanaan pelayanan publiknya kepada DPRD.
  3. Pengaduan (Pasal 40):

–       Masyarakat berhak mengadukan pelayanan public kepada: penyelenggara, ombudsman, DPRD.

–       Masyarakat yang melakukan pengaduan, dijamin hak-haknya oleh peraturan per-UU-an.

 

  1. Pengaduan (Pasal 44 – 45):

–          Penyelenggara/ ombudsman wajib memberikan tanda terima pengaduan yang memuat:

  1. Identitas pengadu secara lengkap.
  2. Uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standard pelayanan.
  3. Tempat dan waktu penerimaan pengaduan.
  4. Tanda tangan dan nama pejabat/ pegawai yang menerima pengaduan.

–          Penyelenggara/ ombudsman wajib menanggapi pengaduan paling lambat 14 hari sejak pengaduan diterima, yang minimal berisi informasi lengkap atau tidaknya materi aduan.

6. Jenis-jenis sanksi bagi penyelenggara:

  1. Teguran tertulis.
  2. Pembebasan dari jabatan.
  3. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala.
  4. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah.
  5. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
  6. Pemberhentian tidak dengan hormat.
  7. Pembekuan misi dan/ atau ijin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah.

 

Tantangan dan Kendala Reformasi Pelayanan Publik

–          Excessive altruism (Manusia ½ Dewa) yang diperankan oleh Kepala Daerah.

–          Euforia pelayanan à mengejar rekor dan penghargaan.

–          Efek vaporisasi (penguapan) à ide kepala daerah tidak dapat diterjemahkan oleh bawahan menjadi kebijakan operasional.

–          Overlap peraturan dan pungutan-pungutan baru (Perda bermasalah).

–          Etos kerja yang cenderung status quo dan tidak mau menerima perubahan (resistant to change).

–          Budaya risk aversion (tidak menyukai risiko).

–          Keterbatasan kemampuan staf pemda untuk melakukan analisa dalam pembuatan SP yang akurat.

–          Belum mengakomodasi kelompok masyarakat berkebutuhan khusus (cacat, jompo, wanita hamil).

–          Belum ada insentif dan disinsentif bagi petugas pelayanan yang menunjukkan kinerja yang tinggi atau sebaliknya.

–           SP yang belum berbasis IT masih membuka kontak langsung antara masyarakat pengguna jasa dengan aparat pemerintah (rawan diskriminasi, KKN).

Perda Pelayanan Publik

  1. Payung hukum dan jaminan konstitusional bagi masyarakat.
  2. Pedoman bagi penyedia layanan.
  3. Sebagai “kontrak” antara pengguna dan penyedia layanan.
  4. Jaminan keberlanjutan à   à strategi / jurus Pengepungan 8 Penjuru Mata Angin:
    1. Samsat Drive thru
    2. Samsat Delivery
    3. Samsat Link
    4. Samsat Corner di Mall
    5. Samsat Keliling.
    6. SIM Corner.
    7. Samsat Payment Point.

 

  1. Pelayanan Terpadu 1 Atap à 1 Pintu (Perpres Nomor 27 Tahun 2009).
  2. Perkuat mind-set & culture SDM pelayanan untuk mengimbangi sisi procedural/ SP.

 

Contoh Inovasi Pelayanan Publik

 

1. Pusat Pelayanan Masyarakat Terpadu Tingkat Kecamatan.

2. Pusat Informasi Kelurahan/ desa

3. Lembaga Pengadaan Barang & Jasa Secara Elektronik.

4. Poster APBD di tiap-tiap kelurahan/ desa.

_______________________________________________________ ________

PELAYANAN PUBLIK BERINTEGRITAS PEMERINTAH DESA

Contoh Responsivitas Pelayanan Pemerintah Desa

Pos Pengaduan Masyarakat

________________________________________________________________

 Link terkait: Strategi Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Partisipasi

 

Referensi:

Alm, James and Roy Bahl. 1999. “Decentralization in Indonesia: Prospects and Problems”. USAID.

Billah, MM. 1996. “Good Governance dan Kontrol Sosial”, dalam Prisma No. 8. Jakarta: LP3ES.

Borins, Sandford (Ed.), 2008. Innovations in Government: Research, Recognition, and Replication, Harvard University.

Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli, ed. 1983. Decentralization and Development. California. SAGE Publications.

Drucker, Petr F., 2002. The Effective Executive, Harper Business Essentials.

GTZ. 2004. Pegangan Memahami Desentralisasi: Beberapa Pengertian tentang Desentralisasi. Yogyakarta: Pembaruan.

Hambleton, Robin, 2007. Governing Cities in A Global Era: Urban Innovation, Competition, and Democratic Reform, Palgrave, Macmillan.

Hill, Michael, 2005. The Public Policy Process, Pearson, Longman, UK.

Juliantara, Dadang, Pembaruan Kabupaten: Arah Realisasi Otonomi Daerah, Pembaruan, Yogyakarta.

Kaloh, j. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineke Cipta.

LGSP, 2009. Panduan Manajemen Kinerja Pelayanan Publik, USAID.

LGSP, 2009. Pengawasan DPRD Terhadap Pelayanan Publik: Panduan Untuk DPRD, USAID.

Litvack, Jennie, etc. 1998. Rethinking Decentralization in Developing Countries. The World Bank. Washington D.C.

Soenarko, 2005. Public Policy, Airlangga University Press.

Suparto Wijoyo (Ed.), 2006. Pelayanan Publik Dari Dominasi ke Partisipasi, Airlangga University Press.

Zeithaml, Valarie A., 1990. Delivering Quality Service, The Free Press, New York.

 


[1] Makalah sebagai bahan diskusi penyempurnaan Ranperda Pelayanan Publik Kota Malang, bersama DPRD Kota Malang, pada tanggal 27 Juni 2011 di Hotel Pelangi, Malang.

[2] Wawan E. Kuswandoro, Dosen Ilmu Politik, Kepala Laboratorium Politik & Rekayasa Kebijakan (LaPoRa),  FISIP Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur. Email: wkuswandoro@gmail.com.