Pelembagaan Partai Politik
“Tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai”
(Clinton Rossiter)[1]
“Partai dan sistem partai yang melembaga adalah aktor kunci untuk menentukan akses pada kekuasaan”
(Mainwaring dan Scully)[2]
Apa itu Pelembagaan Partai Politik
Pengertian pelembagaan, menurut Samuel P. Huntington, adalah proses di mana organisasi dan tatacara memperoleh nilai baku dan stabil[3]. Nilai dan stabilitas dalam pemahaman Huntington ini mewujud dalam pemantapan perilaku, sikap atau budaya dalam organisasi (partai politik). Ramlan Surbakti memberikan pengertian pelembagaan partai politik sebagai suatu proses pemantapan partai politik, baik dalam wujud perilaku yang memola maupun dalam sikap atau budaya (the process by which the party becomes established in terms of both of integrated patterns of behavior and of attitude or culture)[4]. Perilaku yang memola, sikap dan budaya, dalam pelembagaan partai politik, menurut Ramlan, beroperasi dalam empat dimensi yakni (1) dimensi derajat kesisteman (systemness), (2) derajat identitas nilai (value infusion), (3) dimensi otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy), (4) derajat pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik[5]. Partai politik dapat dikatakan sudah melembaga apabila telah mencapai ke-empat dimensi tersebut sehingga memiliki perilaku, sikap dan budaya yang memola dan ajeg.
Mengapa (Harus) Pelembagaan Partai ?
Pelembagaan partai politik merupakan tema penting dalam kajian politik terutama partai politik. Pelembagaan merupakan dimensi penting untuk memahami sistem kepartaian dalam negara demokrasi atau semi-demokrasi, karena dengan memahami tingkat pelembagaan partai politik, akan mempermudah penjelasan karakteristik penting sistem kepartaian[6]. Sistem kepartaian menduduki peran penting dalam sistem demokrasi, sistem ketatanegaraan dan konsolidasi demokrasi. Sistem demokrasi yang bercirikan kompetisi (kekuasaan), meniscayakan terjadinya perebutan kekuasaan dan sumber-sumber kekuasaan melalui pemilihan, dan (hanya bisa) dilakukan oleh partai politik untuk mengelola dan mengatur pemerintahan, sebagaimana dinyatakan oleh Mainwaring dan Scully yang dikutip oleh Andrey A. Meleshevich:
“…an institutionalized party system, parties are key actors in determining access to power, open elections must be the real process in detemining who governs and main actors must see them as such”[7]
(dalam suatu sistem partai yang melembaga, partai merupakan aktor kunci dalam menentukan akses kekuasaan, pemilihan yang terbuka merupakan keniscayaan proses politik dalam menentukan pemerintahan)
Untuk ini, partai politik harus mampu berfungsi untuk mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan, baik internal (pengurus, anggota) maupun eksternal (konstituen, masyarakat), menghubungkan kepentingan masyarakat dan negara, untuk diproses dalam sistem politik dan memproduk kebijakan publik. Kesehatan sistem politik dan demokrasi serta konsolidasi demokrasi ini memerlukan syarat: partai politik yang melembaga, untuk bisa mengoperasikan berjalannya fungsi-fungsi partai politik dalam sistem politik dan demokrasi.
Pelembagaan Partai Politik di Indonesia
Secara praktis, partai politik di Indonesia hingga kini masih menunjukkan kelemahan tingkat pelembagaan. Pada umumnya mereka belum berhasil menjalankan fungsi-fungsinya, terutama dalam mengelola konflik, malah merupakan bagian dari konflik. Konflik internal partai politik yang berujung pada pembelahan genealogis partai politik, kemandegan proses politik dalam pemilu kepala daerah terkait konflik internal partai politik, misalnya apa yang terjadi di Sampang pada pemilukada 2006 yang prosesnya mandeg ketika partai-partai politik tidak mengajukan calon[8] adalah contoh nyata kegagalan pelembagaan partai politik. Legalisasi calon perseorangan sebagai peserta pemilu bupati/ walikota maupun gubernur disamping calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, adalah kebijakan politik“exit strategy” untuk merespons kegagalan pelembagaan partai politik.
Ramlan Surbakti juga menyatakan, bahwa kelemahan utama partai politik di Indonesia antara lain adalah rendahnya derajat kesisteman karena terlalu dominannya peran pemimpin partai daripada kedaulatan anggota, lemahnya bangunan ideologi partai (masih dominannya faktor figur sebagai simbol partai atau orientasi politik tokoh sentral secara personal), otonomi partai terkait penyandang dana, dan perbedaan pengetahuan publik tentang partai politik dengan gambaran tentang sosok dan kiprah partai yang dikemukakan pengurus serta aktivis partai politik[9]. Dari pemikiran ini, dapat dikatakan bahwa partai politik di Indonesia masih belum melembaga. Maka pelembagaan partai politik merupakan agenda mendesak di Indonesia untuk mempercepat konsolidasi demokrasi.***
Wawan E. Kuswandoro
Sedang meneliti pelembagaan dan kemampuan elektoral partai politik.