Metode Penelitian Kualitatif
Artikel sebelumnya:
Memahami Metode Penelitian Sosial
Metode penelitian kualitatif, berakar dari pendekatan kualitatif, yang berupaya menjelaskan fakta atau realitas sosial secara mendalam, memahami realitas sosial apa adanya berdasarkan struktur pengalaman subjek (native’s point of view)[1]. Ia menangkap makna (meanings) yang diketemukan pada peristiwa atau subjek yang diteliti, bersifat “belajar dari masyarakat” (learning from the people), tidak hanya “mempelajari masyarakat” (learning about the people)[2]. Aspek penting penggalian ‘makna dari struktur pengalaman subjek’ inilah yang mencirikan penelitian kualitatif dekat dengan subjek yang diteliti, mempelajari dalam konteks alaminya yang berupaya memahami atau menafsirkan fenomena dilihat dari sisi makna yang dilekatkan manusia (peneliti) kepadanya. Penelitian kualitatif mencakup penggunaan subjek yang dikaji dan kumpulan berbagai data empiris -studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, perjalanan hidup, wawancara, teks-teks hasil pengamatan, historis, interaksional dan visual- yang menggambarkan saat-saat dan makna keseharian dan problematis dalam kehidupan seseorang. Sejalan dengan itu peneliti kualitatif menerapkan aneka metode yang saling berkaitan[3]. Ia mengamati (observasi), terlibat dalam peristiwa bersama subjek (partisipatoris) untuk memberikan tafsir (interpretif) terhadapnya hingga menemukan meanings hingga proposisi. Karakter ini menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif ini berparadigma non-positivis. Ia bisa berparadigma post-positivis, interpretif-konstruktif maupun kritis. Sejalan dengan apa yang ditulis Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln dalam buku Handbook of Qualitative Research, bahwa penelitian kualitatif tidak terikat dengan disiplin keilmuan tunggal manapun, juga tidak mempunyai seperangkat metode yang berbeda yang murni miliknya. Para peneliti memanfaatkan semiotika, analisis naratif, isi, wacana, arsip, dan fonemis, bahkan statistika; juga mendayagunakan pendekatan, metode, dan teknik etnometodologi, fenomenologi, hermeneutika, feminisme, rhizomatika, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis, cultural studies, penelitian survei dan observasi partisipatif dll. Semua praktik penelitian ini “dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang berharga”.[4] Keluasan dan keluwesan penelitian kualitatif dalam menggali makna pengalaman masyarakat ini memberi penekanan pada proses, makna dan sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dan subjek yang diteliti dan tekanan situasi yang membentuk penyelidikan. Maka, kedudukan teori dalam penelitian kualitatif tidak seketat pada penelitian kuantitatif yang menjadi bingkai yang memagari peneliti. Pada penelitian kualitatif, teori merupakan guidance (penuntun) awal untuk memandu peneliti, yang selanjutnya peneliti menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya (interpretasi). Alur pikir yang digunakan adalah induktif (bukan deduktif seperti pada kuantitatif).
Karena tujuan penelitian kualitatif adalah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya (hal yang sebaliknya pada penelitian kuantitatif yang menitikberatkan pada pengukuran dan analisis sebab-akibat antara bermacam-macam variabel, bukan prosesnya)[5] maka keluasan dan kedalaman makna yang direngkuh oleh penelitian kualitatif ini membutuhkan kecakapan penelitinya untuk dapat berinteraksi dengan subjek dengan baik dan mampu menyerap makna dari subjek. Kemampuan ini digambarkan oleh Denzin sebagai seorang “bricoleur” yakni seorang yang “serba bisa” atau seorang yang mandiri-profesional. Bricoleur ini menghasilkan “brikolase” yaitu serangkaian praktik yang disatupadukan dan disusun secara rapi sehingga menghasilkan solusi bagi persoalan dalam situasi nyata. Bricoleur memanfaatkan paradigma interpretif (feminisme, Marxisme, cultural studies, konstruktivisme) yang dapat difungsikan untuk memecahkan masalah, dan sekaligus memahami bahwa penelitian kualitatif itu merupakan proses interaksi yang dibentuk oleh perjalanan hidup, biografi, gender, kelas sosial, ras dan kesukuannya sendiri sekaligus oleh hal-hal yang berada dalam konteks. Hasil kerja bricoleur berupa brikolase yakni sebuah ciptaan kompleks, padat, refleksif, dan mirip klipping yang mewakili citra, pemahaman, dan interpretasi peneliti mengenai dunia atau fenomena yang dianalisis.[6]
Karakter holistik-integratif penelitian kualitatif dalam pemahaman di atas dan kedalaman makna hingga menguak behind the fact, beyond the reality, (mengungkap ada apa sebenarnya di balik realitas yang tampak ini)[7] dalam penelitian kualitatif ini memberi penjelasan bahwa dalam metodologinya, penelitian kualitatif menghendaki adanya thick description untuk menelusuri dan membongkar realitas sosial yang didapatkan melalui in-depth interview (wawancara mendalam) dalam pengumpulan datanya (penelitian lapang)[8]. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan atau narasumber (bukan “responden” seperti dalam penelitian kuantitatif), yang mana informan atau narasumber ini adalah orang-orang yang memahami konteks masalah yang sedang diteliti. Mereka adalah pelaku peristiwa, orang yang sangat tahu, paham dan ahli serta dekat dalam bidang atau masalah yang sedang diteliti, sehingga yang penting dari informan atau narasumber ini adalah kualitasnya, bukan jumlahnya seperti dalam penelitian kuantitatif. Karenanya, bukan jumlah informan atau narasumber yang dipentingkan, tetapi kedalaman, intensitas dan kualitas data yang diperoleh / digali dari mereka-lah yang penting. Apa yang disebut sebagai “tingkat kepercayaan” dalam penelitian kuantitatif yang direpresentasikan dengan ukuran sampel (semakin besar ukuran sampel atau jumlah responden maka penelitian akan semakin bisa dipercaya atau memperkecil margin of error), dalam penelitian kualitatif adalah kedalaman dan kualitas data yang dapat digali inilah yang penting. Karenanya, pemilihan informan atau narasumber menjadi penting pula.
Jika kuantitatif memilih responden secara acak berdasarkan sampling technique dan sampling frame yang telah ditentukan sebelum terjun lapangan, maka penelitian kualitatif memilih informan atau narasumber tidak secara acak, tetapi dipilih berdasarkan kriteria kepahaman dan kedekatan akan suatu masalah yang sedang diteliti. Biasanya dilakukan dengan teknik snow-ball dengan terlebih dahulu menentukan seorang informan atau narasumber kunci (purposed) yang darinya menjalar kepada informan atau narasumber lain atas referensi informan atau narasumber sebelumnya. Demikian dilakukan terus hingga informan atau narasumber ke-x ketika data telah jenuh yakni ketika informan atau narasumber telah tidak lagi bisa memunculkan konstruksi yang berbeda dan baru. Instrumen penelitian, menggunakan “panduan wawancara kualitatif” yang tidak bersifat terstruktur (ketat) seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi lebih fleksibel, dengan tipe pertanyaan open-ended, yakni tiap pertanyaan akan berakhir dengan membuka jalan bagi pertanyaan berikutnya yang mengikuti alur semi-terstruktur maupun tidak terstruktur (peneliti bebas melakukan improvisasi di lapangan namun tetap dalam koridor desain penelitian). Ini bedanya dengan kuantitatif yang baku-kaku. Mengikuti alur ini, maka analisis data kualitatif bisa dilakukan sambil melakukan pengumpulan data, yang dilakukan setiap saat selama pengumpulan data, yang biasanya dicatat dalam jurnal harian atau logbook. Data-data dari informan kemudian dianalisis dengan teknik tertentu yang berpusat pada peneliti (interpretif-kritis) dan bisa juga menggunakan alat bantu software bernama CDC-EZ Text, semacam SPSS-nya kualitatif. Software ini membantu mempermudah peneliti kualitatif untuk memilah dan mengklasifikasi data dari jawaban-jawaban informan atau narasumber (catatan: analisis, interpetasi, tetap pada peneliti). Bedanya dengan kuantitatif, kuantitatif menganalisis data menunggu data lapang selesai terkumpul, baru bisa dilakukan tabulasi dan analisis, tetapi waktu analisis kuantitatif lebih cepat apalagi menggunakan alat bantu (SPSS, AMOS, dsb).
Pada penelitian kualitatif, waktu analisis data paling cepat selama pengumpulan data karena bisa dilakukan bersamaan (tentunya memerlukan waktu lagi untuk analisis lanjutan setelah pengumpulan data selesai). Hasil penelitian kualitatif bersifat memahami realitas sosial, menyentuh sisi praxis, bertujuan membangun teori, memunculkan pemahaman atau konsepsi atau teori baru atau memberikan kritik atas teori yang ada atau memperbarui teori.***
Referensi yang digunakan adalah dari Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln dan James P. Spradley.
Bacaan lain: